Chapter 29

2.4K 245 61
                                    

Happy Reading

-💃-

Gadis yang menggunakan pakaian serba hitam dan kacamata hitam yang digunakan untuk menutupi mata sembabnya, kini mengubah posisinya menjadi duduk saat satu per satu orang yang menghadiri pemakaman sudah pergi.

Ara sempat melihat kedua orangtua Delvin bersama abangnya, namun sudah pergi saat abang Delvin tiba-tiba kejang. Bukan itu yang menjadi permasalahan, tidak ada satu tetes air mata di sana. Mama Delvin bahkan menutup hidungnya menggunakan tangan kiri dan mengibas-ngibaskan tangan kanannya karena udara yang cukup terik.

Nggak punya otak.

Ingin sekali Ara berteriak marah berharap mereka mengerti bahwa merekalah yang menjadi biang dalam kasus kematian Delvin, tapi Ara tidak memiliki tenaga.

Sejak kemarin di lokasi kejadian, matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata. Teriakannya yang meminta Delvin bangun malah membuatnya dianggap sakit jiwa. Apa pun itu, Ara ingin ikut bersama Delvin. Bukan karena rasa cinta, melainkan rasa persahabatan.

"Vin! Lo ngapain, sih? Kayaknya lo ngerti deh, kalau hati itu bisa tumbuh lagi. Lo nggak perlu kayak gini, Vin! Kalau lo nggak betah di rumah, lo bisa tinggal di rumah gue!" teriak Ara seraya memukul-mukul tanah yang masih basah.

"Jangan tinggalin gue, Vin! Nanti kalau Seren nanya, gue jawab apa? Jahat banget lo buat gue bingung!" Isak tangisnya semakin menjadi-jadi. Terik matahari tidak menjadi penghalang baginya.

Ara menyandarkan kepalanya di papan nama Delvin lalu perlahan menjatuhkannya di tanah. Sebagian semangat hidupnya terasa pergi bersamaan dengan Delvin. Masalah kematian memang tidak ada yang tahu. Ara berharap sebentar lagi dia akan dijemput dan bertemu dengan Delvin.

Tidak terasa hari sudah mulai gelap. Matahari sudah digantikan oleh bulan dan bintang yang bersinar. Ara ketiduran di pemakaman Delvin, entah mengapa tiba-tiba rasa takut itu hilang. Ara mencoba mengambil ponselnya yang ada di saku celananya lalu menghidupkan senter sebagai penerangan karena di tempat ini minim penerangan.

"Vin, semoga lo tenang di sana, ya. Gue nggak bisa lebih lama di sini, tapi besok gue usahain buat ke sini lagi. Dadah, Delvin." Ara mengusap papan yang bertuliskan nama Delvin lalu beranjak. Ara menatapnya sekali lagi dan melambaikan tangan sebelum benar-benar meninggalkan tempat yang sepertinya sudah tidak ada orang di sana.

Ara memeriksa jam melalui ponselnya. Masih pukul delapan malam. Ara mencari-cari keberadaan sepeda motor kesayangannya di parkiran, tapi sudah sepuluh menit mencari tidak kunjung dia temukan. Ara memilih bersandar di salah satu pohon yang berukuran cukup besar. Ara menggigit kukunya, memikirkan apa saja yang terjadi tadi pagi. Dalam hitungan detik, Ara menepuk keningnya pelan.

"Ara! Lo bego banget, sih? Masa ke sini nggak bawa motor. Gimana bisa pulang!"

Ara menghentakkan kakinya kesal seraya terus merutuki kebodohannya. Ara mematikan senter ponselnya lalu menekan kontak Misty. Tidak perlu menunggu waktu yang lama, sambungannya sudah terhubung dengan seseorang di sana.

"Mis, tolong jemput gue, dong. Gue lupa bawa motor, malah udah malem gini. Tolong, Mis."

Terdengar suara tawa di sebrang sana. Ara menunggu beberapa detik, memastikan apakah Misty akan merespons ucapannya atau tidak.

Serendipity [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang