Perfect- 07

964 68 2
                                    

Sudah dua puluh menit  Selena berdiri di  depan toilet. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tanga kanannya. Sering pula ia mendapat sapaan dari para siswi yang baru saja keluar dari toilet.

Cewek dengan rambut acak-acakan ini berdecak. "Ini Sonya ngapain sih di toilet? Lama bener, heran gue. Kalau gak ada urusan juga malesin banget gue harus berdiri di sini kek patung pancoran," gerutunya.

Baru di menit ke dua puluh empat, ia mulai melihat sepatu fantopel yang mendekat ke arahnya-- yang ia yakini milik Sonya. Tanpa aba-aba ia langsung berbalik dan membuat cewek polos itu terkejut.

Rasanya Selena ingin tertawa melihat ekspresi lucu Sonya saat sedang terkejut. Ya, kalau saja dia tidak ingat tujuannya bertemu cewek polos sekelas itu.

"Sel-- Selena? Lo nga-- ngapain di situ? Lo-- lo gak lagi ngintipin gue, kan?" tanya Sonya takut-takut.

Ah, dia memang polos. Memangnya Selena kurang populer apa sampai harus ngintip segala?

Selena mendesah. "Lo kalau nanya itu yang bener dikit kek. Lo kira gue sefamous ini masih mau ngintip apa? Kurang kerjaan amat hidup gue. Ini lagi yang diintip elo. Unfaedah tau nggak!"

Sona membenarkan posisi rambutnya yang ia kepang. "Te-- terus kalau-- kalau gak ngintip ngapain lo ber-- berdiri di situ?"

Perlu diketahui Sonya itu bukannya gagap. Tapi ia selalu menemukan aura yang mengerikan ketika bertemu dengan Selena.

"Lo gak usah gagap gitu deh. Belum juga gue apa-apain," balas Selena santai dengan melipat kedua tangan di depan.

Sontak Sonya melebarkan kedua bola matanya. "Belum diapa-apain? Lo mau ngapain gue emangnya?"

"Gue mau kasih lo perhitungan karena lo udah berani menandingi nilai gue tadi," ucapnya.

"Tapi kan nilai itu murni hasil berpikir gue. Lagipula nilai lo juga bagus."

"Enggak! Buat lo yang otaknya pas-pasan mungkin delapan sembilan itu bagus. Tapi buat seseorang yang memiliki kesempurnaan seperti gue, rasanya seratus aja tuh masih kurang."

"Terus salah gue apa?"

"Ya salah lo karena nilai lo harus lebih tinggi dari gue!" Selena meninggikan suaranya. Berdebat dengan Sonya ternyata memerlukan energi lebih dari yang ia bayangkan.

Sonya meneguk ludah dengan susah payah. "Itu bukan salah gue. Mungkin otak lo lagi gak berpikir dengan benar."

Orang bilang jangan jadi orang yang terlalu polos. Seperti Sonya contohnya. Ia tidak tahu apa yang sedang menunggunya jika ia masih bersikukuh untuk melawan.

Selena memukul pintu toilet yang ada di belakang Sonya membuat cewek itu menjengit kaget. "Lo berani ngelawan gue?"

"Sel-- Sel-- jangan kayak gini, Sel. Gue cuma mau pulang. Kejadian hari ini lupain aja. Gue janji besok-besok gak akan dapat nilai lebih tinggi dari lo," ucapnya yang mulai gemetaran. Pasalnya semua murid bahkan guru sudah pulang. Sangat banyak kemungkinan yang akan terjadi saat ia dihadapkan dengan singa betina sesempurna Selena.

"Enak aja. Kalau lo ngalah terus buat apa gue menang? Lo ngejek gue dengan cara ngerendahin gue? Soy, ini bukan soal gue iri sama nilai lo yang lebih tinggi dari gue. Toh cuma satu poin juga. Tapi ini soal harga diri. Sejak kali pertama gue menginjakkan kaki di SMA Gavedra, semuanya soal gue itu selalu sempurna. Dan gue bekerja keras untuk itu. Gue gak mau kalah dari lo walaupun cuma satu poin karena itu berpengaruh buat nama gue ke depannya."

Selena tidak marah. Tapi dari tatapannya, Sonya bisa melihat cewek itu tertekan dan menderita. Tapi tertekan kenapa? Justru yang dibully kan Sonya. Harusnya dia yang tertekan dong.

"Terus gue harus apa?"

"Gue mau lo ngaku kalau semua jawaban lo itu hasil nyontek," kejam memang. Tapi hidup yang dirasakan Selena tidak kalah kejam dari ini. Ia hanya berusaha melindungi diri tapi dengan cara yang salah. Karena dari kecil, ia tidak pernah diajarkan bagaimana cara menyelesaikan masalah. Atau cara menghargai orang lain dan bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan.

"Gue-- gue gak mau. Nanti nilai semesteran gue bakal jelek. Sel, nilai lo kan selalu sempurna. Tadi Bu Ambar juga bilang nilai yang tadi gak akan berpengaruh sama nilai raport lo. Tapi kenapa lo bela-belain ngincer satu poin sampai begininya, sih?" Oke. Sonya mulai berani.

Ia juga merasa dirugikan sebab ia tidak tahu apa-apa soal Selena dan kehidupannya. Yang ia tahu, Selena sudah sempurna tanpa harus membuat Sonya terlihat buruk sekalipun.

Selena memelotot lantas mendorong Sonya sampai kembali masuk ke toilet. "Lo tinggal mau aja apa susahnya, sih?" Ia mengambil air lantas menyiramkan ke tubuh Sonya. "Lo gak mau kan mati kutu karena kedinginan di sini?"

"Ah! Sel, ampun, Sel. Jangan bully gue, gue mohon. Gue gak pernah ada salah sama lo," balas Sonya. Bibirnya bergetar. Antara kedinginan dan ingin menangis.

"Lo gak nurut sama gue itu aja udah salah! Gue kasih lo kesempatan terakhir. Bilang lo nyontek atau gue cemplungin lo ke comberan!"

Selena mendekatkan dirinya pada Sonya yang terus mundur. Tidak mendapat jawaban, ia bersiap untuk menyiram Sonya kembali jika saja tidak ada yang menahan tangannya.

Dalam hitungan detik saja air itu berubah mengguyur dirinya. Ia membulatkan mulut dan membersihkan air dari wajahnya. "Arrgghh! Oh my gosh! Siapa sih ini? Kenapa malah nyiram gue sih, Bangsat!"

"Lo yang Bangsat. Jadi lo bakalan tega bunuh orang sekalipun biar lo terlihat yang paling sempurna. Gitu? Lo-- menjijikan."

Selena perlahan membuka matanya dan melihat sosok cowok di depannya. Serta Sonya yang sudah terisak di belakang tubuh atletis cowok itu.

"Edgar! Berani-beraninya ya lo ikut campur urusan gue! Apalagi sampai nyiram gue segala! Minggir lo! BURUAN MINGGIR!"

Selena berteriak. Bahkan Edgar juga sedikit tesentak melihat kobaran api di mata Selena. Bukankah ini hanya soal nilai? Lalu kenapa mata Selena sampai berkaca-kaca? Segila kesempurnaan itukah sosok Selena?

"Minggir Edgar! Lo gak usah halangin gue. Urusan kita udah selesai!" teriak Selena lagi.

Edgar sadar dari lamunannya. "Lo yang gak ada urusan lagi sama dia. Apa lo segila ini sampai bully orang yang sama sekali gak salah cuma karena nilai?"

Selena meneguk ludah susah payah. Ia mendongak lantas kembali menatap Edgar. "Sampai kapan lo mau jadiin gue musuh lo? Segitu bencinya lo sama gue sampai lo selalu bilang hal buruk soal gue?"

Kali ini Selena tidak marah. Justru nada bicaranya terdengar sangat lirih yang bahkan Edgar sendiri tidak tahu penyebabnya apa.

"Kenyataannya lo itu jahat, Selena! Tadinya gue pikir lo masih punya sisi baik saat berusaha nolongin Dion. Tapi sekarang gue sadar kalau lo tetap gak akan berubah. Lo nolongin dia itu bagian dari kesempurnaan yang selalu lo banggain itu kan? Lo mau seluruh dunia tau kalau lo itu orang paling baik. Malaikat yang datang saat dibutuhkan. Cuih!" Edgar meludah. "Gue jijik sama cewek kayak lo. Cewek kayak lo bahkan gak berhak mendapatkan tempat untuk hidup. Lo gak pantas bahagia, Selena."

Deg!

Perkataan pedas Edgar selalu berhasil membuat menusuk ke ulu hati Selena.  Membuatnya terpaku dan di detik itu juga air matanya kembali lolos. "Gue-- gak mengharapkan semua kalimat itu keluar dari mulut lo. Gue pikir lo cukup pintar. Menurut lo kalau gue gak dididik untuk selalu sempurna, gue bakal ngelakuin hal sehina ini? Ngebully orang gak pernah ada dalam daftar kamus kehidupan gue. Dan nolongin Dion, itu murni dari hati gue. Terserah lo mau percaya apa enggak."

Ia menghapus kasar air matanya lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang hancur. Selena pikir Edgar adalah cowok pintar dan bisa mengartikan tingkahnya malam itu.

Tapi lagi-lagi Selena salah. Tidak ada yang mengerti dirinya. Entah itu Momy, Leo bahkan Edgar.

Perfect [SELESAI]Kde žijí příběhy. Začni objevovat