Perfect- 22

856 54 9
                                    

Temui saya di cafe Ananda. Ada yang ingin saya bicarakan tentang kematian ibu kamu.

Kedua alis pemuda yang baru saja membaca pesan itu beratut. Jemarinya terlihat mengetuk-ngetuk meja. Dalam hati bertanya, apakah yang akan disampaikan tentang ibunya?

Namun karena ditelan penasaran level akut, ia membawa tas dan merapikan seragamnya berniat untuk pergi.

"Ke mana lo?" tanya Roland yang sedang sibuk menggoda beberapa dedek gemesh yang melintas di luar kelas mereka.

"Gue balik duluan, ada urusan. Pelajaran juga udah abis," jawabnya.

"Seriusan udah abis? Bukannya masih ada jam terakhir sama Bu Avi, ya?"

"Bu Avi gak masuk. Kata Selena, dia pulang duluan mau ngurus beberapa hal sama Pak Jeremy."

Kali ini Samuel yang melangkah untuk mendekati Edgar. "Pak Jeremy siapa pula? Dan kenapa Selena tau kalau Bu Avi udah pulang?"

"Udah jadi rahasia umum kalau Selena sama Bu Avi itu deket. Bukan cuma sama Bu Avi aja, Selena itu anak kesayangan semua guru," Junior menjawab dari balik buku yang sedang ia baca.

Edgar menatap tidak peduli. "Gue balik duluan, ya."

"Yoi. Ati-ati lo di jalan!" Roland berteriak yang dibalas acungan jempol oleh Edgar.

***

"Kita nunggu siapa?" tanya Maureen setelah beberapa menit mereka duduk di sebuah meja kosong di Cafe Ananda.

Tadinya Edgar ingin berangkat sendiri, tapi tidak tega juga melihat Maureen sendirian di rumahnya. Padahal Maureen punya keluarga yang utuh.

Sayang, mereka lebih mementingkan pekerjaan daripada putrinya sendiri.

"Gak tau, gue dapat chat katanya ada yang mau diomongin soal kematian Mama," Edgar mengedikan bahu lantas kembali menyeruput segelas cappucino yang ia pesan.

Gadis dengan overall dan tas selempang di bahunya itu mengangguk-angguk sambil kepalanya terus menoleh ke kanan dan kirinya-- mencoba menemukan orang yang dimaksud.

"Shit!" Edgar mengumpat kala ponselnya jatuh saat menggeser gelas cappucino miliknya.

Ia terpaksa menunduk untuk mengambilnya di lantai.

Jleb.

"AAAA!!!"

Mendengar teriakan yang Edgar hafal suaranya itu, segera ia mendongak begitu ponsel sudah berada dalam genggamannya.

Ia terkesiap melihat Maureen dengan mata membulat sedang menutup mulutnya sendiri. Ditambah sebuah pisau yang menancap tepat di pinggir mejanya.

Perlahan, ia mencabut pisau itu dan memperhatikannya.

"Edgar, awas!"

Seseorang berteriak membuat cowok itu menoleh ke belakang dan segera menghindar begitu tongkat besi dilayangkan padanya.

Sosok itu memakai baju serba hitam juga topeng hitam.

Seseorang yang baru saja masuk dan masih berada di ambang pintu lantas berteriak minta tolong. "Tolong!"

Sesaat setelah itu, beberapa satpam datang menghampirinya. "Kenapa, Mbak?"

Perfect [SELESAI]Where stories live. Discover now