Perfect- 41

747 46 5
                                    

"GUE GAK MAU KETEMU KALIAN LAGI! MENDING SEKARANG KALIAN SEMUA PERGI. JANGAN TEMUI GUE LAGI. PERGI!!"

Selena mengunci pintu kamar mandi begitu saja. Mungkin tidak akan ada yang memahami bagaimana perasaannya saat ini. Kejadian tadi membuatnya begitu hancur dan juga malu.

Bagaimana bisa setelah kejadian itu ia menampakkan diri pada teman-teman sekolahnya?

Sementara di kamar Selena, Lydia tengah berdiri sambil menatap pintu kamar mandi. Juga dengan beberapa pasang mata lain yang ikut menatapnya.

"Itu-- Selena kenapa?" tanya Samuel heran.

Bahkan Maureen juga tidak tahu kenapa dia terlihat begitu ketakutan seperti itu. "Tadi juga pas gue kejar dia, reaksinya kayak gitu."

Lydia mengabaikan mereka dan mendekati kamar mandi berusaha membuka pintunya. Namun tentu saja pintu itu dikunci dari dalam. "Selena, honey, kamu kenapa? Itu ada Edgar, biasanya kan kamu antusias sekali kalau ada dia. Momy juga udah kasih izin kalau kalian mau temenan lagi."

"Tolong usir mereka, Mom. Aku nggak mau ketemu sama mereka sekarang."

Lydia terdiam sesaat mencerna semua ucapan putrinya. "Apa maksud kamu, Sayang? Momy tau saat ini kamu sedang terpuruk. Dan kamu butuh mereka."

"Aku gak mau ketemu mereka saat ini, Mom. Aku gak pernah minta apa-apa dari Momy selama ini, tapi sekarang aku mohon usir mereka. Suruh mereka pergi, Mom."

"Tapi, Sel--"

"Tante, apa saya boleh bicara sama Selena?"

Ucapan Lydia terpotong oleh Edgar yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Ia menatap pemuda dengan kemeja kotak-kotak itu dengan ragu. "Barusan Selena sempat bilang gak mau diganggu. Saya gak yakin dia mau bicara sama kamu."

"Sebentar aja, Tante. Saya nggak akan ganggu Selena. Saya cuma perlu membicarakan beberapa hal sama dia," ucap Edgar tulus.

Hal itu membuat Lydia kesulitan sendiri. Ia mendengar tangisan putrinya di dalam toilet sana. Ia sudah diminta Selena untuk mengusir teman-temannya.

Tapi disisi lain ia juga tidak tega pada Edgar. Bagaimanapun juga mereka teman Selena. Mereka telah memaksa ke sini hanya untuk menjenguknya.

Dengan beberapa pertimbangan, Lydia kemudian mengangguk. "Saya tunggu di sana."

Edgar mengangguk pelan sebelum kemudian Lydia pergi meninggalkannya. Ia menatap pintu kamar mandi dengan nanar. Napasnya terasa berat, dan tenggorokannya tercekat.

Perlahan ia menempelkan telapak tangannya di pintu kamar mandi.

"Sel, ini gue, Edgar," ucapnya lirih. Benar-benar tampak sekali ia juga merasakan apa yang dirasakan Selena. Lelaki itu terlihat hancur dan frustasi kalau saja tidak ingat harus menguatkan Selena juga.

Selena menghentikan tangisnya untuk sesaat. Ia semakin menempelkan telinganya pada daun pintu untuk memperjelas semua ucapan Edgar.

"Gue-- minta maaf. Semua ini salah gue. Kalau aja gue gak nurutin semua keinginan lo buat ambil bagian dalam rencana ini, kalau aja gue gak biarin lo jadi umpan, semuanya gak akan kayak gini, Sel. Lo pasti akan baik-baik aja sekarang."

Lambat laun, cairan asin kembali menetes keluar dari bola mata sembab Selena. Perkataan Edgar mengingatkannya kembali dengan kejadian tadi.

"Gue udah berusaha, Sel. Gue berusaha datang tepat waktu dan jadi orang yang selalu lo banggakan kayak biasa. Tapi usaha gue kurang, Sel. Gue-- telat."

"Tapi gue datang ke sini buat ketemu lo. Gue-- kangen sama lo."

Kini ada belasan belati yang menusuk ulu hati Selena. Bagai luka terbuka yang disiram air garam. Atau sebuah kaca yang dihantam jutaan beton. Remuk.

Perfect [SELESAI]Where stories live. Discover now