6

15.4K 857 56
                                    

Dea tidak masuk sekolah hari ini, sengaja, supaya ia tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi di sekolah seperti buronan. Lagian besok sudah mulai libur.

Romadon tiba romandon tiba...

Tiba-tiba... romandon.

Tiba-tiba.... romandon.....

Azeek.

Gadis itu tidak perlu khawatir Brian akan mendatanginya lagi seperti kemarin. Hana melarang dan akan memberi sangsi jika si lelaki melanggar.

Mungkin setelah ini Dea akan memikirkan tentang kepindahan sekolah. Mencari tempat yang jauh dari jangkauan Brian.

Berada di dekat abang mesum itu terkadang terasa amat mencekam. Apalagi teror setiap pagi saat ia mengajak Dea mandi bersama.

Tidak sampai disitu, pernah juga Brian ngemis-ngemis buat tidur sekamar dengan sang adik. Gila gak tuh! Perlu di bawa ke psikolog nih abang.

Srekkk... sreekkk...

Suara orang berjalan di halaman belakang rumah membuat Dea yang sedang mencuci piring memasang kuda-kuda siaga. Ia melirik sekitar, mencari benda apapun yang bisa dijadikan senjata.

Keadaan rumah sepi. Sang nenek pergi belanja di minimarket depan komplek. Terdapat sebuah ikat pinggang tergantung di gagang pintu, Dea meraih benda itu, mana tau berguna di medan pertempuran nanti.

Perlahan, si gadis menuju halaman belakang. Ikat pinggang tadi direntangkan, siap memecut siapapun yang mengagetkannya.

Takut takut berani Dea terus melangkah. Namun, setiba di sana tidak di temukan apapun. Tidak ada apa-apa. Setidaknya sekarang ia dapat bernapas lega.

Melupakan satu hal, waktu menunjukkan bahwa adzan magrib sebentar lagi berkumandang. Memikirkan saja sudah membuat Dea merinding berharap sang nenek cepat-cepat pulang.

Dea terlalu takut untuk melanjutkan cucian piringnya. Ia mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam. Islam ya bukan Isi alam kek lu pada.

Hana belum juga datang. Apa neneknya itu kenapa-napa? Perasaan khawatir menjalari pikiran si gadis.

Tidak ingin berprasangka buruk, ia melanjutkan cucian yang sempat ditinggal tadi.

Tak.

Kaca di ruangan itu terdengar seperti dilempar kerikil. Dea berusaha menghiraukan. Pura-pura tidak tau.

Tak.

Dilempar lagi. Jujur, ia merinding sekarang.

Tak.

Setidaknya melirik sedikit tidak apa-apa kan? Tidak akan terjadi apa-apa kan?

Dea mengintip sedikit ke jendela. Huft ... hanya ada Brian di sana. Si gadis bernapas lega.

Tunggu.

Itu Brian?!

"Bukain pintu depan woey! Mumpung nenek gak ada," titahnya.

Dea menggeleng-geleng polos dan merapatkan tubuh ke dinding seolah tengah melihat sesosok hantu. Percayalah, saat ini pertemuannya dengan Brian lebih menyeramkan daripada bertemu hantu asli.

"Pergi!"

"Jangan teriak, udah malem."

"Tadi jalan ngendap-ngedap di belakang, sekarang lempar-lempar jendela!"

"Jalan di belakang apaan, abang baru dateng!"

Krik... krik...

Suasana semakin horor.

"Pergi pokoknya, pergi! NENEK!!!" Dea semakin meracau tidak jelas.

"Briaaaaaan!"

Sebuah sendal kayu khas jaman dulu dengan ketebalan mematikan meluncur ke arah Brian.

Saat ini Brian merasa sangat bersyukur jendela di hadapannya masih tertutup rapat. Sendal tadi menghantam jendela dengan keras menimbulkan sedikit keretakan di sana.

Siapa lagi sang pelempar selain Hana. Meski sudah berumur jangan remehkan stamina sang nenek. Ia masih sanggup mengejar, berusaha menangkap Brian yang sudah lari kocar-kacir meninggalkan komplek itu.

The power of nenek.

"Brian gak ngapa-ngapain kamu, kan?" tanya Hana memastikan. Dea tersenyum dan itu cukup membuatnya lega.

Sejujurnya ia tidak membenarkan perasaan Brian terhadap Dea. Biar bagaimanapun kedua anak itu bersaudara. Tidak akan bisa bersama.

Tetapi, ia juga tidak membenarkan sikap Dea yang lari dari permasalahan. Hana tau cucunya itu pasti terlibat pertengkaran dengan seorang gadis karena memperebutkan Brian. Insting seorang nenek cukup tajam btw.

Karena sifat penurut dan pengalah, gadis itu jarang terlibat masalah sebelumnya. Terkadang ia juga mengadu.

Saat SD apalagi, Dea sering diejek oleh anak laki-laki karena memiliki gunung kembar lebih besar dari anak-anak seumurannya. Ia selalu mengadu pada Brian.

Sang kakak sering terlibat perkelahian dan berulang kali dipanggil ke ruang guru. Dea menangis saat Brian dimarahi orang tua murid karena telinga anaknya robek dicakar lelaki itu.

"Abang gapapa."

Ucapan itu selalu dilontarkan Brian tatkala menenangkan tangisan si adik.

Siscon SomplakWhere stories live. Discover now