43

2.9K 265 75
                                    

Part ini agak panjang v:

892 kata btw

Agak sad juga sih menurutku v:

•••

Sehabis lega usai ujian, kini semua kembali di buat tegang dengan pembagian rapor. Mana yang ngambil orang tua, kalau nilai bobrok auto ceramah di tempat.

Ceramahnya emak-emak sama rap beda tipis, mana air liur muncrat-muncrat.

Di aula, orang tua berkumpul. Banyak tetek bengek, kenapa tidak langsung kasih rapor terus pulang.

Mana tau ada emak-emak yang lupa matiin kompor karena dengar pidato kepanjangan dapurnya kandas.

"Gak perlu basa-basi pasti gue rangking satu," ujar Yoga sambil membusungkan dada.

"Berharap boleh, halu jangan."

"Kalau gue gak tiga besar, lu bakal gue pukul, Za."

"Iya iya lu rangking satu."

Karena ketegangan yang melanda, makhluk-makhluk abstrak di sini semakin abstrak.

Kiki, Widya, Brian duduk membuat lingkaran, ketiganya merapal doa agar terselamatkan dan masih dapat bernapas setelah dilanda badai omelan emak nanti.

Mereka pasrah dengan nilai apa adanya karena menyesal sekarang sudah tidak berguna.

"Biar gimana pun, rangking satu ada di tangan gua."

"Anak baru, sok pintar pula," cibir Yoga.

"Gua punya semua, masuk tiga besar itu hal sepele."

"Papa bilang di sekolah ini kita usaha sendiri, beliau gak bakal bantu lagi semisal kita gak naik kelas."

"Dan lu percaya?" Alfi acuh tak acuh, ia masih asik mabar em el dengan Dea. "Ujian gua jawab asal-asalan, pasti nanti tetap rangking satu kek biasanya."

"Terserah kau, aku cuma ngasih tau."

Yoga ikut masuk ke dalam lingkaran dan mulai berdoa, 'Semoga Alfi tinggal kelas, semoga Alfi tinggal kelas, semoga Alfi tinggal kelas.'

Fiza juga turut serta, memimpin doa ketidaknaikan Alfi. Kalau soal beginian baru mereka kompak.

"Mati lagi ... aku noob, ya?"

"Mainnya udah jago kok," ujar lelaki itu menghibur sang pacar sembari mengelus-elus kepalanya.

Dalam hati 'beban, amnjic.'

Dasar cowok.

•••

Pembagian rapor selesai, Brian menyusul sang adik ke kelas, tetapi yang di dapatkan adiknya tengah menangis. Sontak ia menghampiri dengan perasaan khawatir.

"Kenapa, De?"

Tidak ada jawaban, gadis itu masih menutup kedua wajah. Widya di sampingnya mengelus punggung si gadis menenangkan.

"Dea kenapa, Wid?"

"Kepo."

Brian menghela napas panjang. Jangan mengumpat, dosa. Nanti masuk neraka.

Dilihatnya Dea sudah sedikit tenang, kembali ia menanyakan hal sama. "Kenapa nangis?"

"Aku ... aku ... u-udah belajar serius, i-ikut les ... tapi ... tapi ... huaaaa." Tangis Dea semakin menjadi.

"Tapi kenapa?"

"Aku malah dapet rangking dua..."

Mendengar hal itu, Brian keluar dan memakan siapapun yang lewat.

Siscon SomplakWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu