38

3.1K 284 40
                                    

Sudah lebih dari empat orang saja yang berdiri di depan rumah Alfi. Rame, kek mau tawuran.

Ada Kiki si cebol pelengkap loli tiga serangkai. Dan entah siapa yang ngundang Yoga datang, mana barang bawaan banyak, cem orang pindahan.

"Mau piknik?" tanya Brian asal jeplak.

Kiki berdecak sebal. "Jam 11 malem mau piknik?"

"Ada yang ngomong, tapi siapa?" Brian mengedarkan pandangan seolah mencari, Yoga pun ikut melakukan hal sama.

"Gue sumpahin buta kalian semua."

"Eh, ada Kiki, maap gak keliatan." Yoga cengengesan.

"Pendeck, sih."

Kiki kesal, wajahnya memerah. Tidak ada yang membela karena Fiza tidak di sini. Tenang. Tinggal telpon, pasti dateng. Begitulah Kiki, suka bikin orang susah.

Widya mengajak semua masuk, di ruang tengah mama si gadis tengah selonjoran di lantai dengan aesthetic. Katanya senam lantai biar awet muda.

"Eh, ada Kiki. Makin pendek aja," sapa Calorine.

"Malem, Tan, makin awet muda sekarang," balas Kiki ramah, padahal dalam hati udah bangsat-bangsatin wanita itu.

Calorine mengibas rambut ala duta shampo. Aku? Jadi duta shampo lain? Bukan.

"Kamu rajin-rajin berenang, ya, biar tinggi. Gak ada cowok naksir cewek pendek."

Kiki menelan ludah susah payah. "Iya, Tante."

Semua yang menyaksikan kekerasan moral itu hanya tertunduk diam, menahan tawa.

Nistain Kiki teros, untung penyabar, untung gak pendendam. Tiba-tiba sesuai harapan gadis itu, Fiza datang membawa sejuta kerinduan.

Dalam ekspetasi, Fiza akan menghampiri dan mengelus kepalanya sambil bilang, "Aku suka cewek pendek, kok."

Tapi, realita ...

"Bener kata Tante Calorine, gak ada cowok suka cewek pendek."

Mendengar hal itu langsung dari Fiza membuat Kiki ingin menelan galah agar tinggi dadakan.

Sepertinya, bakat merusak ekspetasi Kai dari cerita tetangga nurun ke Fiza.

"Kalian semua mau makan dulu gak?"

"Gak usah, Tan. Udah malem." Fiza menolak ramah diangguki oleh yang lainnya.

"Syukurlah, gak jadi berkurang beras tante."

Sepertinya semua kini mengerti kenapa orang-orang mudah merasa kesal kepada Alfi, sudah keturunan dari sang ibu.

"Ayo masuk ke rumah sederhana kami, di sini ada banyak kamar, tinggal pilih mau tidur di mana."

"Makasih, tante," kompak semuanya sambil tersenyum canggung.

Para gadis langsung mengungsi ke kamar Widya. Tekanan di sekitar Calorine begitu berat, Dea saja tidak sanggup berlama-lama.

Ketiganya merebahkan tubuh, menatap langit-langit yang sama.

"Kalian udah mandi?" tanya Dea absurd.

"Udah. Widya kali yang belum."

Plak.

Sebuah tangan mendarat ke wajah Kiki. "Maap, kepeleset."

Kiki mengelus dada, sabar.

"Ngomong-ngomong soal mandi, gue mandi bentaran doang, sampoan udah."

"Kalau aku, ketiak harus disabun, kalo gak nanti bau."

"Kalian mandi?"

Terdiam.

Sudahlah, semua orang tau Widya jarang mandi. Untung cantik.

"Bentar, kalian gak ada yang bersihin dada?" Kali ini Dea kembali bersuara. Semua menatap heran.

"Kan pas sabunan udah sekalian."

"Gak bersih kalo gitu!"

Terdiam lagi. Semua saling bertatapan. Kuci kuci kutang heh.

"Emang gimana bersihinnya?" Kiki penasaran, Dea mengambil posisi duduk diikuti yang lain.

"Pertama tempatkan empat jari pada bagian atas dada dan empat jari dari tangan lainnya di bagian bawah. Lakukan pijatan dengan memutar, baik searah jarum jam maupun sebaliknya," jelas Dea sambil memperagakan.

Widya yang paling khusyuk mendengarkan. "Ooo... gitu."

"Cara lainnya menyangga payudara dengan satu tangan, kemudian ibu jari tangan lainnya ditempelkan ke dada, sedangkan empat jari sisanya memijat payudara dengan gerakan memutar mulai dari bagian terluar, bawah ketiak, hingga bagian bawah."

Kedua gadis itu masih memperhatikan dengar khidmat. Sampai Widya sadar akan sesuatu, terasa mengganjal.

"Keknya ada yang aneh."

Kiki juga merasakan hal sama. "Iya, ya."

Lagi-lagi gadis itu bertatapan. Masih diam, hening malah seolah mereka berkomunikasi lewat tatapan. Telepati gitu.

"Bukannya yang tadi pijitan buat memperbesar payudara?!" kompak keduanya.

Dea gelagapan sendiri dituduh yang tidak-tidak seperti itu. "Enggak kok! Mama bilang buat bersihin, biar gak ada kuman tertinggal."

Pantes besar.

Kini, mereka tau penyebab dada Dea lebih besar dari ukuran normal anak SMP kelas 1.

Dengan melihat saja, kedua gadis itu minder, merasa gagal menjadi perempuan. Apalah daya dada minus bagaikan papan cucian.

"Dari kapan mama lo ngajarin kek gitu?"

"Emmm ... sejak aku belajar mandi sendiri."

Gubrak.

Rasanya mereka ingin jungkir balik, kayang, koprol, ngembik kuda. Nih anak polos kebangetan!

Siscon SomplakWhere stories live. Discover now