46

3.2K 250 21
                                    

Brian tengah membereskan barang-barang di kamarnya ketika dering ponsel menggema keras, memecah kesunyian siang ini.

Ia meraih benda pipih dari tempat tidur, lelaki itu berdecak ketika tau siapa sang penelepon.

"Pembagian lapor sudah lewat, aku menagih jawaban."

"Aku masih tidak yakin."

"Apa yang membuatmu ragu?"

"Segalanya ... tentangmu dan orang tuaku. Meski sudah tau semua, tapi aku masih tidak yakin."

Helaan napas di seberang sana terdengar berat. Brian merasa tak enak akan hal itu.

"Aku akan datang besok. Kau terlalu lama berpikir."

Lelaki itu tidak menjawab sampai panggilan terputus. Ia meletakkan kembali ponselnya dan mengusap wajah kasar.

Cepat-cepat Brian beranjak menghampiri Lisa yang tengah maraton Tukang Haji Naik Bubur di kamar.

"Ma, kita pindah kapan?"

"Besok malem," jawab sang ibu tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Sekarang gak bisa?"

"Kenapa emang?"

Lisa meletakkan ponsel dan fokus menatap Brian. Pasti ada sesuatu.

"Gak ada sih, lebih cepat lebih baik."

Suasana mendadak serius, atmosfer terasa begitu berat. Lisa masih menyorot curiga membuat Brian jadi salah tingkah.

"Lagi berantem sama Vanya, ya?"

"Sembarangan," kilah lelaki itu cepat.

Ia kesal melihat sang ibu memasang wajah menyebalkan.

Memang iya sih, sehabis kumpul-kumpul kemarin Vanya menjadi sedikit cuek padanya. Mungkin cemburu karena Dea ikut kumpul juga.

Padahal dia tau kalau Dea adik lelaki itu.

"Sekarang bisa sih, tapi adikmu masih di rumah nenek."

"Biar Ian jemput."

Brian langsung keluar, meraih kunci dan bersiap menyusul sang adik. Deru motor lelaki itu terdengar meninggalkan rumah, tiba-tiba Lisa merasakan firasat buruk.

Tergesa ia hendak mencegah Brian pergi, namun terlambat, lelaki itu sudah menjauh.

Lisa hanya bisa membatin. "Hati-hati, Ian."

•••

Dea menyetrika pakaian sang nenek dengan telaten. Hana memperhatikan kerja gadis itu sambil menyeruput tehnya.

Terasa begitu sepi ketika berkunjung ke rumah Hana tetapi tidak ada Alfi di sini.

Seketika terngiang sepenggal lirik lagu di kepala. Kalau sudah tiada baru terasa...

Akhir-akhir ini Dea juga merasa kalau Brian sedikit demi sedikit mulai berubah. Entah karena pengaruh Vanya atau bukan.

Sang abang mulai bersikap baik sekarang, tak pernah lagi membuatnya kesal, masih sering ngajak mandi bareng, tetapi tidak sesering dulu.

Apa mau Dea pasti diturutin. Ketika si adik kehabisan stok cokelat buat ngemil, Brian langsung membelikan banyak jajanan, yang asli ada badaknya.

Setiap ditanya kenapa tiba-tiba baik, jawaban lelaki itu selalu sama.

"Abang gapapa kok."

Dari dulu Brian selalu begitu, tidak ingin memberitahukan masalahnya pada orang lain.

Dea jadi takut, nanti kalau si abang jadi depresi terus tiba-tiba main ayunan leher kek Nasywa dari cerita sebelah kan gak lucu.

"Lah, kok setrikaannya gak panas?" tanya Dea tersadar baju yang disetrika tak kunjung rapi. "Jangan-jangan rusak."

"Mati lampu."

Pantes.

•••

Di perempatan jalan Brian berhenti ketika lampu merah. Meskipun bar-bar, lelaki itu tetap mematuhi peraturan lalu lintas.

Lebih sering melanggar sih.

Sekarang aja helm gak dipake. Kalau ada razia mampus.

Lampu berubah hijau, Brian langsung melajukan kembali motornya dengan kecepatan sedang.

Mungkin karena melamun, lelaki itu tidak sempat menghindar ketika sebuah mobil melaju kencang menerobos lampu merah dan menabrak motornya.

Kejadian itu berlalu begitu cepat. Brian terpental dan bagian belakang kepala si lelaki menghantam trotoar dengan keras.

Dalam sekejap, kesadarannya menghilang.

Siscon SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang