41

3.2K 278 42
                                    

Punten.
Kaget gak dapet notif lagi dari Siscon Somplak? v: (harus kaget pokoknya!)

Setelah kemarin sebagian part aku unpublish, sekarang aku repost lagi deh. Hihi. Tapi ada yang beda loh, soalnya cerita ini udah aku revisi dan yang aku publish sekarang versi novelnya nanti.

Bakal beda sih sama yang kemarin.

Btw, Siscon Somplak bakal aku post seminggu sekali.

Jadi, selamat membaca ulang 😂

***
“Hidup gue akhir-akhir ini gak bahagia,” tutur Yoga di suatu siang.

Kini mereka tengah lesehan di teras sambil memperhatikan Alfi main em el —bukannya belajar— nonton doang, disuruh main mana bisa.

“Emang lu pernah bahagia?”

Yoga menjitak kepala Brian kesal sebab asal menyeletuk. “Masalah ekonomi ini, Bro.”

“Jangan mau diajak ngepet sama Brian pokoknya.” Fiza memegang bahu lelaki tadi, memperingati dengan wajah serius. “Mending ikut gue rampok rumah Sisca Kohl.”

“Gak beres lu berdua.”

Lelah dengan perdebatan unfaedah, Alfi menurunkan ponsel berhenti main game. Ia ikut menatap Yoga dengan sungguh-sungguh.

“Gua punya tips dan trik supaya hidup lu bahagia di kemudian hari,” ucap si lelaki penuh keyakinan membuat yang lain langsung tertarik.

“Apaan?”

Alfi tersenyum miring, ia masuk ke kamar mengambil celana dan dompet, tidak lupa mengeluarkan lembaran seratus ribu dari dompet tadi.

“Pertama, masuki uang semampunya ke kantong celana,” ujar Alfi sembari memperagakan. “Kalau bisa celana yang jarang lu pake.”

“Terus, terus?”

“Lupakan.” Alfi tersenyum polos. “Rasakan sensasinya di kemudian hari.”

“Ih, bunuh binatang dosa gak, sih?” greget Yoga.

Hasrat ingin membunuh Alfi mendadak hilang sebab seluruh atensi tertuju pada seorang wanita yang baru turun dari ojol, begitu aesthetic penuh keindahan.

Ia membawa dua koper besar menuju rumah sebelah. Dagu diangkat tinggi kek istri pejabat jalan ke tanah abang.

“Buk, ongkosnya belum.”

“Eh, iya, lupa.” Buru-buru Lisa berbalik dan membayar kang ojek tersebut.

Kini ia kembali melangkahkan kaki menuju rumah Hana, menjemput anak serta suami yang menjadi gembel dadakan sejak tiga hari lalu.

“Assalamualaikum, gak jawab atheis.”

Andi membuka pintu, matanya berkaca-kaca melihat kepulangan sang istri. Kedua insan itu berpelukan dramatis seolah telah terpisah puluhan tahun.

“Mama ke mana aja, sih?”

“Abis arisan sama Bu Icak, mama sekalian tour juga mumpung ditraktir. Anak Bu Adel kan baru gajian.”

“Kenapa kunci dibawa? Mama tau gak rasanya jadi gembel itu gimana? Huaaaa...”

“Mama sengaja ngeprank kalian, biar tau gimana rasanya hidup susah,” ucap Lisa berdusta. Keduanya masih heboh di depan rumah mengundang perhatian orang berlalu-lalang.

Heran, padahal Brian dan yang lain sudah bergidik jijik menyaksikan drama suami istri tersebut tetapi mereka tidak juga malu. Definisi urat malu putus secara nyata.

Tidak tahan kericuhan, Hana kesal mulai mengeluarkan jurus julidnya. “Udah tua apa gak malu dilihat anak sama tetangga.”

“Iri bilang, Bu. Yahaha gak bisa bucin.”

“Tau Malin Kundang, Nak?”

“Tau, Bu. Maap.” Lisa langsung menunduk patuh, takut dikutuk jadi powerbank.

Tidak peduli kata mertua, Andi masih memeluk dan mengelus puncak kepala sang istri dengan lembut. Tanpa ada yang tau, ia mulai berbisik begitu pelan tepat di telinga Lisa. “Kemarin dia beneran datang.”

Seolah paham, wanita itu tidak kaget sama sekali. “Aku tau.” Melepas pelukan mereka, ia melambai ke rumah sebelah sembari tersenyum seperti biasa. “Ian, ayok pulang.”

“Pulang sana, dipanggil emak lu noh,” usir Alfi.

“Iye, tau!”

Karena Brian dan Dea hendak pulang, yang lain langsung sibuk mengemas barang-barang ikut pulang juga ke rumah masing-masing. Dea bingung melihat Kiki menangis sembari mengancing tasnya.

“Kenapa, Ki?” tanya Widya lebih dulu.

“Sedih harus pisah rumah sama Fiza.”

“Elah, kayak orang mau dicerai suami aja kau. Nikahi sana biar bisa serumah terus.”

Mendengar saran bagus dari Widya, ia langsung beranjak meninggalkan kamar dan menghampiri Fiza. Lelaki itu tentu kaget dengan kedatangan tiba-tiba sang pacar, apalagi melihat mata Kiki memerah.

“Ada apa?” tanyanya datar padahal perhatian.

“Nikahi aku, Fiza,” rengek gadis itu, menangis.

Semua yang sudah selesai membereskan barang-barang memilih membiarkan Fiza sibuk sendiri mengurus pacar menyusahkan tersebut. Mereka tidak peduli, pura-pura tidak lihat daripada nambah kerjaan.

“Emak lu mana, Wid?” tanya Yoga, tidak melihat keberadaan Calorine. Biasa nongkrong di ruang televisi nonton acara gosip sambil akrobatik.

“Lagi ambil oleh-oleh sederhana.”

“Berasa pulang liburan pake oleh-oleh segala.”

Mereka berjalan ke luar rumah menunggu kedatangan Calorine bersama oleh-oleh sederhananya. Cukup penasaran, sih, dengan konsep merendah untuk —melonte— meroket kali ini.

Lama menunggu sampai Fiza dan Kiki pun sempat menyusul, Calorine muncul membawa paper bag kecil di tangan.

Mungkin kah benda itu benar-benar sederhana? Hm, mustahil.

“Makasih, ya, udah bersedia nampung ini dua anak biawak,” ujar Lisa sambil cupikacupiki dengan wanita tadi.

Memasang wajah menyesal, Calorine beralih menatap anak-anak satu persatu. Mereka ingin tutup telinga saja, sudah paham tanda-tanda Sultan ingin merendah.

“Maaf banget, selama nginap di sini kalian selalu makan makanan sederhana. Tante jadi gak enak.”

“Gak apa-apa, Tante. Sederhana pangkal kaya,” timbrung Yoga.

“Ini tante kasih oleh-oleh, masing-masing ambil satu, ya.” Calorine mengeluarkan beberapa emas batangan 1 gram dari dalam paper bag. Sudah ketebak, bukan barang sederhana. “Maaf, cuma bisa kasih itu.”

Lama-lama enek dengar kata ‘maaf’ dari Calorine. Merendah teross, nyungsep tau rasa.

Selagi yang lain sibuk bagi-bagi oleh-oleh, kedua ibu-ibu di sana mulai bercengkerama. Apalagi kalau bukan gosip.

Ora gosip ora uwu.

Mulai dari Bu Manda yang suka ngomporin orang baku hantam, Bu Sarah si pelakor kw nyamar jadi Sahara, Pak Arujian iseng-iseng nembak anak tetangga malah diterima beneran.

Semua dibahas.

Alfi gedek liat sendiri melihat tingkah sang ibu yang tak sadar usia. Udah mau mokad masih aja numpuk dosa. Eh, astagfirullah. “Udah lah, Ma, jangan ghibah.”

“Kami ngomongin fakta,” ujar Lisa membela diri.

Calorine terkekeh, menatap Alfi remeh. “Emang kamu tau ghibah itu apa?”

Fiza memberi kode siaga pada teman-teman membuat mereka langsung bersiap di posisi masing-masing, antisipasi jikalau terjadi peperangan antar ibu dan anak.

Takutnya ada lagi insiden anak yang diusir orang tua perkara hal sepele. Tetapi aman, untung Alfi gak kepancing emosi.

Lelaki itu justru menghela napas tenang. “Ghibah adalah mencari atau menyuplai beberapa pendapat dari sekumpulan orang-orang tentang fisik, sifat serta perilaku seseorang dengan membicarakan secara tertutup.”

Siscon SomplakWhere stories live. Discover now