48

2.8K 256 75
                                    

Makin ke sini makin banyak flashback.

•••

Lisa berjalan setengah berlari menuju ruang ICU. Ruangan itu biasanya ada di bagian depan bangunan biar keluarga pasien gak repot-repot ketika hendak menjenguk.

Gobloknya Andi malah parkir di belakang rumah sakit.

Apa gak capek lari-lari ala sinetron.

Masih terengah-engah, wanita itu menelepon Vanya kembali, si gadis tengah berada di ruang tunggu dan Lisa langsung menuju ke sana.

Kalau saja gadis itu tidak menghubunginya tadi, mungkin ia tidak tau apa yang terjadi pada Brian.

Begitu sampai, Vanya langsung memeluk Lisa sembari meneteskan air mata. Bukan karena kecolok jari, tetapi memang asli nangis.

Lisa masih berusaha tegar, ia tidak ingin terlihat lemah di depan anaknya.

"Dea udah dikasih tau?"

"Tadi aku telepon gak bisa."

Mati lampu iyalah.

Dokter keluar mencari keluarga pasien. Andi yang baru tiba langsung unjuk diri dan mengikuti sang dokter ke ruangannya.

Kedua pria itu duduk berhadapan. Andi sudah menyiapkan diri karena sudah pasti kabar buruk yang akan diterima.

"Pasien mengalami pecah pembuluh darah otak dan kehilangan banyak darah," jelas si dokter secara gamblang membuat Andi meringis mendengar hal itu.

"Tindak lanjutnya gimana, dog?"

"Kita bisa melakukan operasi otak. Untuk itu akan memerlukan 16 kantung darah."

"Lakukan apa aja asal bisa menyelamatkan anak saya."

Tidak bisa dipungkiri, Andi merasa benar-benar gagal menjadi seorang ayah untuk Brian saat ini.

"Yang menjadi masalah, pasien memiliki golongan darah AB, sulit mencari pendonor tersebut di sini."

Pria itu tak lagi berharap banyak.

"Kalau boleh tau, berapa persentase kehidupan anak saya."

"35 persen."

Andi mulai pasrah akan kehendak author. Mungkin sudah tiba saat dimana Brian akan bertemu kembali dengan ibu kandungnya.

•••

Sebagian part dihapus.

•••

Dea tertidur di samping ranjang Brian. Mungkin akibat kelelahan menunggu lelaki itu seharian selagi orang tua sibuk mencari donor darah.

Seharusnya sekarang giliran Vanya yang menjaga Brian, tetapi gadis itu belum kembali semenjak izin pulang mengambil barang.

Vanya sudah berniat untuk menginap di rumah sakit. Ia khawatir kalau bukan dia sendiri yang menjaga sang pacar.

Dea terbangun dari tidur, ia melihat Brian perlahan membuka matanya.

"Bang Bian," panggil gadis itu.

Si lelaki masih menatap sekeliling, ruangan serba putih, sudah diketahui kini ia berada di rumah sakit tanpa perlu bertanya, 'Ini dimana?'

Pertanyaan retoris!

"Bang Bian jangan mati..." lirih Dea dengan air mata membanjiri pipi. "Nanti siapa yang antar jemput aku sekolah."

Brian terkekeh, menatap adiknya sembari tersenyum lembut. "Erich ada."

"Dia udah punya pacar, nanti aku dilabrak."

"Labrak balik."

"Jangan mati, abang..."

Tangis gadis itu semakin menjadi apalagi melihat Brian meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya.

"Kalau abang mati, jangan lupa sebulan sekali kasih bunga ke makam abang, ya."

"Gak mau! Ngerepotin. Jangan mati dulu, aku cinta abang."

"Cinta? Kita saudara loh," goda lelaki itu sembari terkekeh.

"Iya! Bang Bian gak cinta lagi sama aku?"

"Cinta kok, abang bakal berusaha bertahan hidup demi kamu."

Ia menarik Dea ke pelukan dan mengecup dahinya singkat. Perlakuan Brian ekhem uwu uhuk uhuk sekali.

Tentu bahagia setelah mendapat pengakuan cinta yang telah lama ditunggu-tunggu dari sang adik, rasanya mati sekarang pun Brian ikhlas saja.

Vanya menyaksikan semua, ia hendak memasuki ruangan namun urung. Gadis itu mesti sadar, sedari awal ia tidak bisa menggantikan posisi Dea di hati Brian.

Tetapi, bukan Vanya kalau segini saja sudah menyerah. Tidak dapat mengambil hati doi, minimal pepet orang tuanya, dengan begitu semua akan lebih mudah.

Lagipula pacar Brian sekarang kan dirinya.

Vanya berbalik, mencari keberadaan Lisa. Ia hendak memberitahu kalau Brian sudah sadar, sekalian caper supaya bisa ngerawat sang pacar tanpa campur tangan Dea.

Di koridor yang sepi, si gadis kebetulan mendengar percakapan dua orang dewasa. Vanya mengenali salah satu dari suara itu. Jiwa kepo mendadak bergejolak.

Karena sudah tak sengaja menguping, gas aja lah.

Dari kang nguping kini Vanya beralih jadi kang intip. Tepat dugaannya, Lisa tengah berbicara serius dengan dokter yang menangani Brian.

"Kenapa tidak ambil darah saya saja? Darah kami cocok, kan?"

"Ibu memiliki darah rendah, jadi tidak bisa," jelas si dokter dengan sabar.

Vanya menutup mulut menahan keterkejutannya. Apa kondisi Brian separah itu?

Dan untuk pertama kali ia melihat seorang Lisa menangis. Yang biasanya barbar, kini terlihat begitu rapuh. Wanita itu merasa benar-benar tidak berguna.

Putus asa pasti.

Kalau saja ia bisa bertukar posisi dengan Brian, pasti sudah dilakukannya.

Lisa menenangkan diri, menghela napas panjang lalu kembali memasang senyuman namun pilu. "Kalau misalkan gak ada darah di PMI, ambil aja 16 kantong darah saya."

Siscon SomplakWhere stories live. Discover now