36

3.2K 283 30
                                    

Dea yang tadinya hendak pulang ke rumah mengurungkan niat ketika melihat Vanya dan Brian bermesraan di tempat kang ketoprak.

Hari panas semakin panas.

"Bang, anterin aku ke tempat nenek aja, gamau pulang."

Lagi, gadis ini lari dari kenyataan. Alfi hendak menanyakan lebih lanjut, tetapi urung. Karena ia tau, bertanya hanya menimbulkan perbakuhantaman.

"Oke." Ia memutar arah laju motor menuju rumah Hana yang pada dasarnya sebelahan dengan rumah lelaki itu sendiri.

"Abis ini bisa anterin aku ke tempat les?"

"Berani bayar berapa?" tanya Alfi jahil membuat Dea memukul kepala si lelaki.

"Perhitungan."

"Gak ada yang gratis, beb."

Dea urut-urut dada, tahan ... kata guru Cincha, jangan ngomong kotor nanti masuk neraka.

Kasih senyum, liat aja rekaman kita di akhirat kelak. Tenang. Ada bioskop kok.

•••

"Fiza, kapan umurnya jadi 18 tahun?" tanya Kiki polos sambil rebahan di sofa.

Padahal sudah diantar pulang, tetapi sore, gadis satu ini malah nyusul ke rumah lelaki itu.

Lama-lama tendang juga nih Kiki.

"Bulan 10 nanti."

Si gadis mengangguk-angguk lalu meraih minuman yang dihidangkan Fiza beberapa saat lalu.

Kiki menyorot gelasnya serius membuat lelaki tadi merasa telah melakukan kesalahan.

"Kenapa, Ki?"

Si gadis beralih menatap Fiza dengan sorot sama seriusnya. "Gak ada yang lebih gaje daripada es teh anget."

Senyumin aja, Tuhan tau cara membalas umat penyebar emosi seperti Kiki.

"Fiza tau kucing poi?"

"Oh, itu..."

"Itu apa bang?" Kiki memasang tampang polos membuat sesuatu di dalam diri Fiza tergerak untuk nabok.

Lelaki itu masih kebingungan merangkai kata. "Kan bisa cari di google gak harus nanya ke gue."

"Aku masih polos makanya aku bertanya."

"Tai."

Fiza tak lagi bicara, ia meraih ponsel dan membuka Google. Mengetik sesuatu dengan khidmat.

Kiki woi bukan kaki!

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.


Kiki woi bukan kaki!

Astaga ... Goggle saja tidak tau cara mengusirnya apalagi Fiza.

•••

Di lapangan dekat rumah, Brian melambung-lambungkan bola basket di tangan, bersiap melemparkan pada Andi.

Langit sudah gelap, suasana begitu sunyi. Hanya ada mereka saja di sini.

Kedua lelaki itu tengah bermain lempar tangkap antar anak dan ayah. Tanpa ragu, Brian melempar bola basketnya.

Dengan menggunakan pemukul baseball, Andi menghantam bola sekuat tenaga hingga melayang jauh.

Angin berdesir kencang di samping wajah Brian, bola itu hampir merusak ketampanannya. Untung ia cepat menghindar.

"Kenapa mukul pake stik baseball, sih?" protes si lelaki. "Mending main lempar tangkap aja."

"Emang kenapa?" Andi masih mengayunkan pemukul layaknya profesional. "Kita lanjutkan main baseball sebentar lagi."

"Kayak begini main baseball?"

Andi diam, memandang jauh ke langit.

"Begini-begini, dulu waktu papa masih kecil, papa pingin jadi pilot."

Brian ngeflat. "Terus apa hubungannya sama baseball atau basket?"

"Kalau kita main lempar tangkap antar ayah dan anak maka selesai sudah."

Lelaki itu masih tidak mengerti lawakan ayahnya. Sungguh absurd sekali. Apa Andi sedang mengcosplay jadi orang autis?

Hmm ... Brian tidak ingin memiliki ayah yang berkebutuhan khusus.

Andi menaruh stik baseball dan meraih jaketnya yang tadi terletak di kursi. "Gimana kalau kita gulung jaket ini terus jadiin bola."

"Ngelawak, bos?"

"Enggak, cuma melucu."

Brian geleng-geleng kepala, ia mengambil bola basket yang tadi di hantam jauh oleh Andi.

Keduanya bermain lempar tangkap dalam hening. Masih sunyi tak ada orang, bahkan suara jangkrik saja tidak terdengar.

"Kamu udah mikir mau jadi apa nanti?" tanya Andi serius sambil melempar bolanya.

Brian menerima bola tadi dan kembali melempar. "Mungkin ... keluar kota? Ian pingin berguna untuk orang lain."

Andi menangkap bola, terdiam cukup lama mendengar ucapan sang anak barusan.

Brian sudah salah tingkah, takut salah bicara. Tiba-tiba Andi menatapnya remeh.

"Yakin bisa? Orang macam kamu?"

"Jangan nyumpahin napa!" kesal Brian.

Sabar, jangan marah-marah, nanti durhaka.

Tidak lama, terlihat Dea datang. Jam segini gadis itu baru pulang les tanpa Brian menjemput seperti biasa.

Tanpa ditanya pun Brian tau sang adik pasti diantar jemput oleh Alfi. Ia selalu bergidik jijik dengan memikirkan nama lelaki itu saja.

"Rumah dikunci, aku gak bisa masuk," ujar Dea menatap dua wajah di depannya yang masih bergeming. "Mana kuncinya?"

Mobil lewat menyinari tiga orang di sana sekilas. Angin berhembus menambah dingin malam itu.

"Kalau kami punya, kami gak akan di sini."

Andi mengangguk membenarkan. "Karna Lisa pergi arisan, dia gak akan pulang sampai tiga hari ke depan."

Hening.

Siscon SomplakМесто, где живут истории. Откройте их для себя