12

8.6K 850 44
                                    

Tembusin 10 vote untuk part ini, bisa?

•••

"Gak sahur lu? Woey." Brian risih sendiri melihat Yoga yang telah sibuk di depan cermin.

Fiza sudah duluan ke dapur, tetapi makhluk satu ini masih khusyuk membentuk alis dan memoles lipstik.

"Bentar, tinggal bedakan."

"Astagfirullah, padahal cuma makan sahur doang!"

Yoga menyorot sinis, yang ditatap bergidik ngeri. Baru pertama kali lelaki itu menatap Brian seakan ingin membunuh.

"Gausah buru-buru, imsak masih lama kok. Gua duluan, ya." Cengengesan, Brian berlari saking mengerikannya aura yang terpancar dari Yoga.

Beberapa menit kemudian...

Yoga keluar menuju dapur, di sana semua orang sudah menggelar tikar dan makan dengan khidmat.

"Sini Yoga, ikut makan," ajak Andi. Lelaki itu mengangguk dan mengambil posisi di samping Brian.

"Yoga makin hari makin ganteng, ya."

Uhuk.

Brian dan Fiza sontak terbatuk-batuk mendengar ucapan sang ibu.

Kedua lelaki itu menyorot sinis Yoga yang senyum malu-malu dipuji oleh Lisa.

Jijik!

•••

Siang yang terik, hari ini beban Brian sedikit berkurang. Yap, Yoga dan Fiza turut membantu di dapur. Kedua makhluk abnormal itu cukup telaten ketika dimintai tolong oleh Lisa.

Brian sendiri lebih banyak ongkang-ongkang kaki, berasa bos.

"Yoga, tolongin tante ngepel ruangan depan," pinta Lisa dan langsung disanggupi.

"Brian, beliin mama gula."

Lelaki itu berdecak, ia masih setia duduk di kursinya tanpa mengindahkan permintaan sang ibu.

"Kembaliannya buat kamu."

"Beli berapa, Ma?"

Ala-ala anak baik nan berbakti pada orang tua, Brian menerima uang dan mulai berjalan ke warung terdekat di tengah teriknya matahari.

"Bu, gula sekilo," ujar lelaki itu pada sang ibu warung.

"20.000."

Brian merogoh kantong dan mengeluarkan uang receh pemberian Lisa. Dihitungnya baik-baik dan diberikan pada ibu warung.

"Pas, 20.000."

Usai mengucap terimakasih, Brian lantas berbalik dan kembali ke rumah. Di sepanjang perjalanan lelaki itu merasa telah melupakan sesuatu.

Benar kata Yoga, kepikunan Brian sudah mendarah daging.

Lelaki itu sampai di rumah dan meraih gagang pintu pagar. Seketika ia teringat. "Kok gak ada kembaliannya, amnjic!"

Merasa tertipu pasti.

Begitulah Lisa, sering ngeprank Brian dengan embel-embel 'kembaliannya buat kamu' dan bodohnya lelaki itu selalu termakan kebohongan yang sama.

Belum reda kekesalan Brian, ketika memasuki rumah ia melihat Yoga ngepel, tetapi jalannya maju.

"Lu niat gak sih?!"

"Cih."

Ngajak berantem?

"Assalamu'alaikum," panggil seorang gadis di depan gerbang.

"Cewek tuh, lu aja yang bukain."

"Gak liat gue lagi apa?"

"Ngapain, juluk juluk lantai? Dahlah."

"Assalamu'alaikum, Bang Bian." Brian mengenali panggilan itu. Hanya Dea yang memanggilnya begitu.

Setelah beberapa hari tak ada kabar, apa benar Dea pulang hari ini?

Seulas senyum kembali berseri usai di prank Lisa tadi. Buru-buru ia melangkah keluar.

Angan tinggallah angan. Sosok gadis yang berdiri di depan sana bukanlah Dea, melainkan gadis berambut panjang agak kepirang-pirangan dengan kaus hitam dan celana jeans.

Siapa?

Kenapa rasanya kesal sekali saat tau itu bukanlah Dea?

Tidak, bukan itu.

Ia kesal seseorang memanggilnya 'Bang Bian' tetapi orang itu bukan Dea.

"Cari siapa?" tanya Brian dingin.

"Susah juga nyari rumah abang, gue kira bakal nyasar." Gadis itu, terlihat tidak asing.

"Siapa?" tanya Brian lagi, lebih dingin.

"Gue Vanya. Gue mau buka puasa di sini, gue juga bawa makanan."

"Yaudah masuk."

Vanya tersenyum lebar dan mengikuti langkah Brian.

"Satu hal." Lelaki itu berhenti. "Stop manggil gua 'Bang Bian' atau gua gak akan beramah tamah lagi dengan lu."

Siscon SomplakWhere stories live. Discover now