Bab 2| Ospek

495 66 3
                                    

"Ayo, Dek, cepet!"

"Jalannya jangan lelet dong!"

"Masih pagi ini loh kok udah loyo?"

"Lari dong biar ga telat nyampenya!"

Dan masih banyak seruan-seruan para panitia ospek bagian komdis alias komisi disiplin saat aku dan para maba lain berjalan di sepanjang jalan menuju kampus. Ternyata beberapa panitia komdis sudah menunggu di berbagai check point. Mereka ditugaskan untuk memastikan tak ada satupun maba yang membawa sepeda motor atau kendaraan lain sendiri ke dalam kampus. Entah tujuannya apa. Aku melirik jam tanganku. Masih jam setengah enam jadi aku menyeret kakiku dengan langkah santai sesantai Anty yang berjalan sambil ngemut permen.

"Kenapa mbak-mbak panitia pada heboh dah? Masih setengah enam juga." Anty berkata seraya mencabut dan memasukkan kembali permen lolinya ke dalam mulut.

"Mau nebar teror ketakutan. Kan kerjaannya panitia ospek gitu biar maba pada takut."

Anty menjentikkan jarinya di depan wajahku hingga aku berkedip kaget. "Bener banget!"

"Aku masih ngantuk banget, Ty. Bangun jam 4 langsung mandi. Mana di sini airnya dingin banget. Idungku langsung mampet nih. Belum sempet sarapan pula," gerutuku menyebutkan segala penderitaan yang kualami pagi ini berkat ospek.

Aku melirik ke arah Anty lalu ke arah badanku sendiri lalu terkikik geli.

"Lo kenapa dah ketawa-ketawa sendiri? Ospek belum mulai woy jangan gila dulu," tegur Anty.

"Aku pikir-pikir kita kayak orang gila ya. Nurutin semua perintah senior padahal disuruh aneh-aneh gini. Coba kamu liat deh tuh kostum kita. Rompi dari tas kresek hitam-putih, name tag segede gaban, topi dari kresek juga. Kan kayak orang gila."

"Iya sih. Kenapa ya ospek di negara kita ini ga faedah banget? Apa hubungannya coba antara atribut aneh ini sama jadi mahasiswa yang baik dan berbudi luhur?"

Aku mengedikkan bahu.

Anty menguap. "Gue ngantuk, Mir. Mana semalem gue ga bisa langsung tidur. Gelisah gitu ga tau kenapa."

"Lah, sama dong. Kamu pergi dari kamarku kan jam setengah sepuluh ya. Nah, aku baru bisa bener-bener tidur tuh kayaknya baru sekitar jam sebelas."

Anty menjentikkan jarinya lagi hingga aku berkedip kaget lagi. "Persis!"

"Kamu jangan cetak cetik jari depan mukaku dong. Kaget mulu akunya."

Alih-alih meminta maaf, Anty justru tertawa. Tapi itu ternyata tawa terakhir kami sebelum kami masuk ke dalam area kampus yang mencekam. Bau horor menguar di udara ketika di depan gerbang kami menemui seorang panitia komdis sedang berdiri kaku tanpa senyum sama sekali. Aku dan Anty berjalan lurus memasuki area kampus lebih dalam tanpa mengindahkan si panitia.

"Pura-pura ga liat aja lah," kataku berbisik pada Anty.

"Mukanya serem bener. Ga usah sok galak aja udah takut gue. Mukanya kayak gorila gitu." Komentar Anty.

Wajah panitia komdis itu emang serem. Laki-laki. Tubuhnya tinggi besar berkulit hitam kayak gorila. Wajahnya pun mirip dengan binatang primata itu. Bukannya menghina tapi aku bingung bagaimana mendeskripsikan wajahnya secara spesifik.

Saat kami menuju ruang serba guna tempat berkumpulnya para maba, kami disambut oleh sebuah spanduk besar bertuliskan **PROSA: Process to Optimize Students' Ability** di dinding panggungnya.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Where stories live. Discover now