Bab 36| Tipe Temen: Catcaller x Fakboi

127 24 0
                                    

Pas kamu kuliah pasti nemu kan tipe temen yang obrolannya pasti seputar esek-esek? Pasti kamu punya kan temen yang piktor alias pikiran kotor? Nah, sama. Di kelasku juga ada tipe temen begini. Tentu saja spesiesnya berjenis kelamin jantan. Sebut saja Abe, Tahu, dan Miko. Untungnya aku dan teman-teman sekelas sudah paham sih kalau omongan jorok mereka cuma candaan.

Objek otak ngeres mereka biasanya Silvi. Iya, Silvi. Soalnya dia satu-satunya cewek yang bodinya paling aduhai dan paling getol menanggapi candaan mesum mereka. Meski Anty juga kadang suka pake baju kekecilan tapi bodi Anty yang menjurus triplek- sama kayak aku- tak pernah dilirik cowok-cowok modelan mereka. Apalagi Anty dikenal tomboy. Sebelum digodain pasti udah keburu digampar duluan. Tita, meski ga berjilbab juga, lebih sering pake baju tertutup dan sederhana. Oleh sebab itu, manusia-manusia seperti Abe, Tahu, dan Miko segan untuk menggoda.

"Hai, Boobs." Panggil Abe suatu siang sebelum kelas dimulai. Boobs adalah panggilan 'sayang' Abe pada Silvi. Nama ini tak lain tak bukan berasal dari ukuran dada Silvi yang cukup menonjol dibanding mahasiswi lain di kelas kami. Ditambah siang ini Silvi memakai kaos putih yang membalut tubuhnya sangat ketat.

"Eh, Hor." Tahu juga memberikan panggilan 'sayang'-nya begitu melihat kemunculan Silvi. Kalau panggilan 'sayang' Tahu ini sepertinya merupakan penggalan dari kata 'horny' yang dalam bahasa Indonesia berarti terangsang.

"Har Hor Har Hor. Emangnya gue ayam lehor apa?" Protes Silvi.

Tahu nyengir. "Kamu duduk dimana, Vi? Aku mau duduk di belakangmu ya, Vi."

"Eh, enak aja. Kursi di belakang Silvi udah di-tag aku. Kamu minggir!" Abe tak terima. Padahal sedari tadi Abe tak mengatakan apapun pada Silvi tau-tau dia sudah mengklaim kursi di belakang Silvi sebagai miliknya.

"Gantian lah, Be, masa kamu terus?" Tahu melayangkan protes.

"Lah, kenapa? Silvi juga ga pernah protes kok aku duduk di belakangnya terus." Abe membela diri.

"Iya, Silvi ga pernah protes tapi aku yang protes." Kataku sewot.

"Kenapa jadi kamu yang protes, Mir?" Tanya Abe dan Tahu nyaris bersamaan.

"Gimana ga protes kalo tiap kuliah kalian berisik mulu di kursi belakang Silvi? Aku kan jadi ga konsen dengerin dosen dan nyatet." Aku menyuarakan aspirasiku.

"Halah, kayak kamu dengerin dosen aja, Mir. Tiap kuliah juga kerjanya molor. Kamu juga ga pernah nyatet. Sekalinya nyatet di kertas kecil-kecil buat contekan." Cibir Abe. Sialan. Mulutnya pengen aku olesin semen biar mingkem selamanya.

"Itu namanya kreatif, Be!" Kali ini aku yang membela diri.

"Kreatif ndasmu!"

Aku terbahak.

"Lagian kenapa kamu ga pindah kursi di depan atau dimana aja deh asal ga di sebelah Silvi kalo kamu ngerasa keganggu?" Tanya Abe.

Aku mendecak. "Masalahnya Silvi yang minta aku duduk di sebelahnya mulu. Maklum, ibarat rating TV dia ini rate-nya BO alias butuh bimbingan orang tua."

"Lah, lo ngaku tua dong?" Silvi tertawa diikuti Abe dan Tahu.

"Iya juga ya." Aku baru menyadari kebodohanku.

Masalah kursi ternyata masih jadi seteru di antara Abe dan Tahu. Tapi akhirnya mereka duduk berdampingan di belakang Silvi dan aku. Baru saja sepuluh menit kuliah berlangsung mereka sudah mulai membuat rusuh.

"Lo ngerasa ada angin ga, Mir, dari belakang?" Tanya Silvi padaku. Aku yang masih mencatat ogah-ogahan menjawab.

"Hah? Ga ada tuh. Aku kepanasan malah." Aku menjawab tanpa melihat ke arah Silvi.

"Tapi kok dari tadi ada angin gitu ya di belakang gue?" Silvi bertanya bingung.

Aku mengedikkan bahu lalu lanjut mencatat lagi. Sempat jeda beberapa saat tiba-tiba Silvi heboh lagi dengan fenomena angin di belakangnya.

"Gue jadi merinding deh, Mir. Masa anginnya di tengkuk gue doang sih? Serem nih gue." Kata Silvi.

Kali ini aku menengok ke arah Silvi karena sudah selesai mencatat. Aku menangkap basah Abe baru saja meniup tengkuk Silvi. Dia memberi isyarat tutup mulut padaku dengan telunjuknya.

"Maksudnya ada setan lewat gitu?" Tanyaku.

"Ya terus apaan kalo bukan setan?" Tanya Silvi balik.

Aku mendesah. "Kalo bukan setan ya pasti manusia-manusia horny-an macam cowok-cowok di belakang kamu tuh!"

Silvi langsung berbalik ke belakang. Dia mendapati Tahu dan Abe lagi nyengir kuda.

"Lo berdua ngapain gue dari tadi, hah?" Silvi berang.

"Ya lagian kamu dari tadi ditiupin masa ga ngeh sih, Vi?" Tanya Abe.

"Iya, malah ngiranya setan." Sahut Tahu.

"Iya, setan. Setan mesum." Ujar Silvi kesal. "Lo berdua niupin tengkuk gue? Biar apa sih? Nanti tengkuk gue kena liur kalian yang muncrat-muncrat lagi. Mir, tisu!"

"Abe yang niup. Aku cuma liatin aja." Sahut Tahu terlihat tak mau disalahkan.

"Seneng aja liat tengkuk kamu yang ga ketutup rambut. Jarang-jarang kamu cepol rambut sampe tinggi begitu di kelas." Kata Abe sambil nyengir. Tak ada rasa bersalah sama sekali di wajahnya.

"Lagian daripada jepretin tali beha kan mending niup tengkuk, Vi." Bela Tahu.

"Gelo sia!" Maki Silvi sambil mengusapi tengkuknya dengan tisu yang dimintanya dariku.

Kejadian itu tak hanya berlaku sekali. Pokoknya nyaris setiap kuliah siang, mereka berdua akan nge-tag kursi di belakang Silvi untuk melancarkan aksi mereka. Nyatanya, meski kadang merasa risih, Silvi tak pernah benar-benar menjauhi mereka agar tak diganggu.

"Biarin aja mereka dapet hiburan gratis," kata Silvi yang membuatku melongo.

Pendapat pria adalah makhluk visual mungkin memang benar adanya. Aku pernah memergoki Tahu memasang skin music player di ponselnya dengan gambar payudara perempuan yang ditato kupu-kupu. Entah dia dapat gambar itu dari mana. Yang jelas saat aku tak sengaja melihat itu, Tahu jadi gelagapan. Saat itu kami masih mahasiswa baru jadi belum terlalu saling kenal.

"Santai aja, Hu, itu kan cuma gambar." Kataku yang disambut cengiran olehnya.

"Kirain kamu itu-" Dia menunjuk jilbabku.

Aku paham jika banyak orang salah mengira aku ini ukhti-ukhti. Padahal aku tak pernah pakai jilbab besar. Aku bahkan selalu memakai jeans ke kampus. Oh, mungkin karena aku kalem layaknya ukhti-ukhti itu.

Oh ya, kemesuman para cowok ini juga kadang terorganisir. Tak jarang aku melihat mereka bertransaksi video atau film biru satu sama lain. Anggota Rebellion yang terlihat cupu pun ternyata doyan film-film rate dewasa itu. Tapi tetep aja mereka lebih milih versi anime kalau memang ada. Radit pun juga diam-diam hobi bertransaksi film biru bahkan dengan teman dari kelas lain seperti Ryan misalnya. Ryan bahkan bisa dibilang sebagai bandarnya. Sampai suatu hari laptop Radit rusak. Aku tertawa terbahak.

"Woy, makanya kalo punya laptop jangan buat nyimpen film porno sampe bergiga-giga. Mana di-hidden pula. Kena karma kan jadinya."

Radit salah tingkah. "Kok kamu tahu sih, Mir?"

"Taulah. Kan Ryan yang cerita."

"Bangsat emang si Ryan!"

Lalu kudengar Radit misuh-misuh hingga semua penghuni kebun binatang keluar.

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Where stories live. Discover now