Bab 69| Tipe Temen: Naras (2)

121 25 5
                                    

Benar saja. Naras benar-benar mengundang kami sebagai peserta seminar proposalnya beserta beberapa teman sekelas lain seperti Anty, Fara, Shanti, Amel, dan Nuya. Sebagian ada dari kelas lain seperti Dian dan Ferian. Keberuntungan pertama yang sangat luar biasa. Tentu saja aku, Silvi, Tita, Fanny, dan Radit bahagia bukan kepalang karena dengan begitu rencana kami bisa dilaksanakan. Iya, kami benar-benar menjalankan rencana pembantaian saat Naras mempresentasikan proposal skripsinya. Keberuntungan kedua, yang tak kalah luar biasa, ternyata Naras sempat memintaku untuk mengoreksi grammar-nya sehingga aku bisa tahu tentang isi skripsinya. Silvi bahkan rela menginap di kosku demi bisa melancarkan niat kami menjegal seminar proposal Naras. Iya, kami seniat itu. Jahanam emang. Bukannya sudah jadi sifat manusia kalau bahagia ketika temannya nestapa dan nestapa ketika temannya bahagia? Iya, itu sifat manusia durjana macam kami ini.

Aku, Silvi, dan Fanny bahu-membahu membuat pertanyaan untuk diajukan di seminar proposal Naras dengan harapan Naras tak bisa menjawabnya dan nilai seminarnya jatuh sehingga berdampak pula pada nilai skripsinya.

"Kita jahat banget ga sih?" Tanya Fanny yang kadang masih punya hati nurani.

"Kagak lah kan dia harusnya ga lolos semprop karena nilainya masih ada yang D. Masih bagus kita ga jegal terang-terangan dengan ngaduin ke Bapendik. Iya kan, Mir?"

Aku mengangguk setuju. "Yah, anggep aja kita ini devil's advocate skripsinya Naras, Fan. Supaya skripsinya layak disebut skripsi kan perlu banyak kritik dan saran. Nah, salah satunya adalah dengan cara ngasih dia pertanyaan pas semprop."

"Yoi." Silvi mengacungkan kedua jempolnya.

Sampai akhirnya hari H tiba. Kulihat Naras sudah siap di ruang seminar dengan mengenakan kemeja putih dan rok panjang hitam. Anty, Fara, dan Shanti menyemangati Naras yang tampak nervous akan menjalani seminar proposal. Kami para peserta seminar masuk ke ruang seminar begitu semua sudah siap. Aku, Silvi, Tita, dan Fanny memilih duduk bersebelahan dan agak ke tengah. Kami memperhatikan dengan seksama saat Naras mempresentasikan proposal skripsinya. Begitu sesi tanya-jawab dibuka banyak sekali yang sudah mengajukan pertanyaan.

"Why do you choose this literature theory rather than the others? [Kenapa kamu memilih teori sastra ini daripada yang lain?]" Pertanyaan pertama dari Silvi. Secara teknis, itu pertanyaanku karena aku yang membuatnya.

"Why do you use the literary approach? [Kenapa kamu menggunakan pendekatan sastra ini?]" Pertanyaan kedua dari Radit.

Dan beberapa pertanyaan lain yang masih bisa dijawab secara teknis oleh Naras.

"Lo kenapa kagak nanya? Ga jadi?" Tanya Silvi sambil menyenggolku. Dia mengatakan itu dengan berbisik-bisik.

"Aku malu nanyain ini soalnya pertanyaannya kayak orang bego ga sih?" Kataku ragu. Kertas kecil bertuliskan pertanyaan yang sudah kusiapkan untuk seminar proposal Naras bahkan sudah kuremas habis-habisan. Aku takut dihujat karena pertanyaan konyol yang kulontarkan nanti.

"Ga papa kali, Mir. Pertanyaan yang bagus itu justru pertanyaan bodoh-"

"Berarti aku emang bego dong." Aku langsung memasang wajah sedih.

Silvi mendesah kesal. "Sekarang atau ga sama sekali?" Silvi setengah mengancam. "Isaac Newton kalo dulu ga iseng nanya sama dirinya sendiri kenapa apel jatuhnya ke bawah bukan ke atas, kita ga bakal tau apa itu gravitasi. Udah buru! Keburu sesi tanya-jawabnya ditutup. Bentar lagi sempropnya kelar."

"Any other questions? [Ada pertanyaan lain?]" Begitu Bu Murni, dosen sastra yang jadi dosen pembimbing sekaligus moderator dalam seminar itu, bertanya aku langsung mengacungkan tangan untuk memberi tanda bahwa aku hendak bertanya.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora