Bab 72| Jadi Guru TK, Emang Bisa?

155 24 0
                                    

Sebenarnya sejak di semester akhir, ketika jadwal kuliahku mulai berkurang, aku diterima bekerja di sebuah lembaga pendidikan. Tugasku mengajar di TK-TK. Di sana aku bekerja dengan Nuya, Naras, dan Yani (Yani ini teman sekelasku juga tapi aku tidak terlalu akrab dengannya). Aku mendapat lowongan pekerjaan ini dari Naras yang diberitahu adik tingkat yang dikenalnya. Dia jugalah yang mengajak Nuya dan Yani. Tekad awalku mendaftar bekerja sebenarnya demi mendapat pengalaman sebelum lulus karena aku sudah menebak bahwa penghasilan yang didapat dari bekerja di sana memang tidak seberapa.

Kami dijanjikan mendapat penghasilan sebesar dua belas ribu lima ratus rupiah untuk satu kali mengajar. Biasanya kami mendapat jadwal mengajar dua tempat dalam satu hari. Dalam seminggu kami mengajar selama enam hari. Jadi kalau ditotal penghasilan kami selama sebulan berkisar di angka enam ratus ribuan. Di perjanjian awal Bu Isma, pemilik lembaga pendidikan itu, mengatakan akan mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan oleh kami apabila ada keperluan fotokopi dan sebagainya. Nyatanya, biaya-biaya itu harus kami tanggung sendiri karena Bu Isma berkeberatan mengganti ketika mengetahui jumlah pengeluaran fotokopi kami setiap mengajar.

Bukan tanpa alasan kami memberi tagihan fotokopi dengan jumlah lumayan pada Bu Isma. Rata-rata jumlah murid di setiap TK yang kami ajar lebih dari dua puluh orang. Belum lagi buku pegangan dari Bu Isma juga tidak lengkap dan tidak cocok untuk anak TK sehingga kami terpaksa mencari sumber pembelajaran lain dari internet. Uang enam ratus ribu itu kadang tak cukup untuk biaya hidupku selama sebulan karena habis untuk biaya bensin, bayar kos, dan makan. Bensin motorku boros sekali padahal jarak tempuh dari kos ke tempat mengajar satu dengan yang lain lumayan jauh. Sejak akhir tahun 2010 orang tuaku juga sudah tidak mengirimiku uang kos karena jadwal wisudaku mundur tiga bulan dari waktu yang kujanjikan pada orang tuaku di awal kuliah dulu. Aku bahkan pernah tidak punya uang sama sekali di suatu hari dan nekat meminjam uang Fanny karena kepepet. Itupun uang gaji kami juga kadang terlambat dibayarkan oleh Bu Isma.

Namun, terlepas dari segala lika-liku yang harus kuhadapi dengan pemilik lembaga, mengajar anak TK adalah hal baru yang rasanya nano-nano. Tak bisa disebut sepenuhnya menyenangkan tapi tak bisa pula disebut sepenuhnya menyebalkan. Anak-anak memang menyuguhkan dunia yang berbeda dari dunia orang dewasa yang selama ini luput kuketahui. Kejujuran dan kasih sayang yang dibalut oleh kepolosan mereka begitu menghangatkan hatiku yang sebenarnya tidak terlalu suka anak-anak.

"Miss Samiraaaaa..." Panggil Bintang, seorang murid TK A, yang menyambutku dengan riang begitu aku masuk kelas. Dia menubrukku lalu memelukku. "Aku kangen." Padahal baru seminggu lalu kami ketemu.

"Miss Samiraaaaaa..." Yang lain juga tak mau kalah. "Hari ini kita belajar apa?"

Suasana kelas pun jadi riuh saat aku berkata akan ada kegiatan mewarnai hari ini. Mereka senang sekali mewarnai.

"Sit down, please. [Tolong duduk.]" Kataku sambil memberi isyarat agar mereka duduk. "Sudah siap mewarnai?"

"Siaaaaappp!!" Mereka serempak menjawab sambil mengeluarkan krayon mereka dari dalam tas. Beberapa dari mereka berebutan kertas yang sudah tercetak gambar binatang yang kubagikan. Setelah semua murid mendapat kertas, mereka segera khusyuk mewarnai gambar masing-masing.

Di TK lain, ada pula kelompok anak-anak yang aktif luar biasa. Setiap kali hendak mengajar mereka pasti sibuk lari-lari dulu ke sana kemari. Ada kejadian yang membuatku menegur Nana, seorang murid perempuan TK B.

"Penghapus Nana kemana?" Tanyaku saat melihat Nana merampas penghapus milik temannya. Indra, sang pemilik penghapus yang dirampas, tak terima dan akhirnya balik merebut pensil milik Nana. Akhirnya terjadilah baku hantam di kelas. Belum lagi kegaduhan yang diinisiasi Genta, murid tambun di bangku belakang, yang mulutnya mengoceh seperti burung parkit meski tangannya sedang mengerjakan tugas. Multitasking sekali dia. Belum lagi Raya dan Daya, si kembar yang hiperaktif, berkeliling kelas dengan lincahnya. Kepalaku pening dibuatnya.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang