Bab 42| Kabar Duka (1)

139 23 0
                                    

Menjelang semester 6, jurusan Bahasa dan Sastra dikejutkan dengan berita duka. Galih, salah satu mahasiswa Sastra Inggris 2006, meninggal dunia karena kecelakaan. Aku sekelas dengan Galih di beberapa mata kuliah salah satunya Bahasa Jerman. Dia dikenal sebagai mahasiswa cerdas, kritis, dan alim. Namun, dia suka melontarkan candaan sarkas yang lucu.

Saat ospek 2008 dia didapuk sebagai ketua panitia. Meski terlihat tenang dan santai, dia adalah sosok yang sangat bertanggung jawab dan tegas. Dia selalu bisa menjadi penengah saat para panitia terlibat cekcok dalam forum diskusi. Tak ada yang punya kesan buruk terhadap Galih. Semua orang mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Tidak neko-neko. Penampilannya sederhana.

Aku sampai terlonjak kaget saat aku mendapat SMS dari Trias, salah satu mahasiswa Sastra Inggris 2007, yang mengirim pesan broadcast.

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah meninggal dunia kawan kita Galih Prima Sasmita, mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2006, tadi sore sekira pukul 17.00 di RS Margono. Jenazah almarhum akan dimakamkan besok pukul 09.00 di TPU Roda Mas.

Aku langsung buru-buru mengirim SMS ke Radit untuk memastikan apakah SMS dari Trias itu benar adanya. Barangkali dia tahu dari teman yang lain sehingga aku bisa mengkonfirmasi kebenaran SMS ini. Bukan berarti Trias tak bisa dipercaya (karena ga mungkin dia kirim SMS broadcast isinya becandaan temen meninggal) tapi aku hanya masih perlu memastikan berita duka ini. Dan ternyata Radit mengiyakan berita duka itu.

Mau ikut ke pemakaman ga besok?

Radit justru mengirim pesan teks itu padaku yang tentu saja langsung kusetujui.

Ikut. Jemput jam delapan aja ya.

Aku membalas.

Ok.

Itu balasan terakhir Radit sebelum aku jatuh tertidur pukul 21.00.

Keesokan harinya banyak sekali teman-teman sesama jurusan, bahkan beberapa ada yang dari jurusan lain dan adik atau kakak tingkat karena Galih memang orang yang mudah bergaul, yang datang mengantarkan Galih ke peristirahatan terakhirnya. Sebagian menangis untuk memperlihatkan ekspresi kesedihan terutama teman-teman perempuan. Sedangkan sebagian yang lain menunjukkan wajah murung dan lesu termasuk Radit.

Setelah acara pemakaman selesai ibu Galih mempersilakan kami berkunjung ke rumah Galih yang tidak jauh dari areal makam.

"Ayo, mampir ke rumah ibu sebentar. Sekalian ibu mau kenalan sama temen-temen Galih," kata ibu Galih padaku, Radit, dan teman-teman lain yang ramai berkunjung.

"Ah, nanti ngerepotin, Bu." Abe sempat memberi penolakan. Pasalnya kami memang tidak enak bertamu di saat keluarga Galih sedang berduka.

"Ga papa, Nak. Kan ibu yang nawarin. Jadi sama sekali ga ngerepotin."

Abe mengendik pada kami yang berdiri di belakangnya. Dian, yang posisinya paling dekat dengan Abe, memberi aba-aba menganggukkan kepala sehingga Abe pun mengiyakan ajakan ibu Galih. Kami pun berjalan beriringan menuju rumah Galih yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari pemakaman. Beberapa yang membawa motor menuntun motor mereka ke tempat tujuan.

"Maaf ya kalo rumahnya sederhana. Mari silakan duduk. Maaf ya kalian jadi harus dempet-dempetan. Ga papa ya." Ibu Galih berkali-kali meminta maaf.

"Ga papa, Bu. Kita duduk di teras juga ga papa kok." Dian juga jadi ikut merasa tidak enak.

"Silakan diminum dulu. Maaf cuma ada air mineral." Ibu Galih membagikan masing-masing air mineral dalam kemasan gelas pada kami, masih dengan meminta maaf karena sungkan. Padahal kami tidak masalah sama sekali dijamu seperti apapun.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Where stories live. Discover now