Bab 46| Tipe Temen: Halu Halu Bandung eh Ocha ( ˘ ɜ˘) ♬♪♫

139 25 0
                                    

Sebut saja namanya Ocha. Aku tidak begitu mengenalnya terlalu dekat sih karena kami tidak sekelas. Perawakannya kurus, kecil, berambut panjang, dan selalu terlihat tersenyum seolah hidupnya selalu bahagia.

"Bahagia?" Kata Sisi. "Bukannya ngehalu?"

"Ngehalu gimana?" Tanyaku bingung.

Sisi mendecih. "Masa kamu ga tau, Mir?"

"Nggak." Aku menggeleng. "Aku kan ga satu kosan sama Ocha kayak kamu."

"Jadi gini-" Sisi melihat ke arah jendela kaca yang menyekat antara ruang tunggu dan ruang latihan. Dia memanggil Ryan, pacarnya, dengan mengetuk sekat kaca itu. Dia memberi isyarat pada sang pacar kalau akan pergi berdua denganku ke kafe di sebelah. Begitu Ryan memberi tanda persetujuan dengan anggukan, Sisi menggiringku ke sana.

Aku mengenal Sisi karena kami sering bertemu saat pacar kami, Ryan dan Radit, latihan band. Mau tak mau aku jadi sering mengobrol dan cukup dekat dengannya. Kebetulan kami juga satu angkatan dan satu jurusan meski tidak pernah sekelas.

"Ocha itu agak- Gimana ya bahasanya?" Sisi menggaruk kepalanya yang kuyakin tidak gatal. "Aneh, mungkin."

Aku mengernyit. Setahuku tidak ada yang aneh dengan Ocha selain karena tubuhnya yang terlalu kurus buatku. Maksudnya, aku juga sudah kurus tapi Ocha lebih kurus dan kecil dibanding aku sampai-sampai aku merasa bahwa angin kencang saja bisa menerbangkan tubuhnya. Untungnya Purwokerto jarang sekali, bahkan nyaris tidak pernah, terkena angin kencang.

"Aneh gimana maksudnya, Si? Aku ga ngerti."

Sisi mendecak. "Something like- Kamu tau kan halu?" Dia mulai mengaduk jus nangkanya dan menyeruputnya hingga tandas seperempat gelas dalam satu kali tegukan.

"Halusinasi gitu?"

Sisi mengangguk. "Nah, iya. Suka berkhayal. Ocha tuh kayak gitu kurang lebih."

"Dia punya temen khayalan gitu? Tulpa?" Tiba-tiba aku jadi ngeri.

"Bukaaaann." Sisi tertawa. "Dia berkhayal, dia berbuat seolah-olah A padahal kenyataannya B. Gitu. Paham ga maksudku?"

Aku berpikir sejenak. "Oh, iya iya. Aku ngerti sih maksudnya. Tapi masa sih?"

Sisi mendecak lagi. "Nih ya, misalnya aja dia pernah ngaku-ngaku kalo pacarnya bule. Dia kenal di Facebook. Namanya, let us say, Jacob gitu ya. Nah, pas aku cari tuh orang dengan nama Jacob di friendlist-nya Ocha. Aku nemu satu-satunya orang dengan nama Jacob. Aku liat-liat profilnya Jacob dari Facebook-nya Ocha ternyata si Jacob ini udah punya pacar, tunangan malah. Dan aku kan kepo ya. Aku tanya-tanya dong ke Jacob pake messenger-ku apa dia pacaran beneran sama Ocha. Tau ga jawaban si Jacob apa? Dia bilang sama Ocha cuma temenan aja. Kenal dari Facebook emang tapi jarang chat. Kalopun chat ya chat biasa aja."

"Mungkin Jacob-nya yang bohong?" Aku mencoba berpikir positif.

"Ya, aku pikir juga gitu, Mir, sampe akhirnya Ocha ngasih aku bukti fotonya sama Jacob. Aku kirimin ke Jacob dan ternyata Jacob juga kaget. Itu tuh ternyata foto hasil editan gitu. Jacob kirimin aku foto yang aslinya. Ya ampun gila ga sih?"

Aku hanya senyum karena tak tahu harus berkata apa. Aku akhirnya juga meminum jus alpukat yang sudah kupesan untuk menghilangkan kecanggungan. Aku juga mulai memakan siomay yang menguarkan aroma sedap di depanku. Padahal aku sudah makan malam tadi dengan Radit. Namun, bau enak siomay ini menggodaku dan membuat cacing-cacing di perutku beraspirasi agar aku memakannya.

"Terus terus tau ga? Ocha itu sering banget ngaku kalo rumahnya di kota asalnya itu mewah banget. Dia nunjukin foto rumah mewah ke aku yang diaku jadi rumahnya. Padahal sih aku yakin itu foto rumah ambil dari Google. Sekarang kalo dipikir-pikir, kalo dia emang kaya raya kenapa ga kuliah di sana aja di kota asalnya? Terus kenapa juga milih kosan yang murah kayak kosan aku? Terus kenapa hapenya bukan hape keluaran baru? Itu aja waktu hapenya jatuh dan sempet kebaret dia bilang ga ada duit buat benerinnya." Bahkan sambil makan batagor pun, Sisi masih bisa bicara dengan lancarnya soal Ocha.

"Hmm, mungkin Ocha tipe orang yang sederhana, Si. Ortunya ga bolehin dia buat ganti-ganti hape dan hambur-hamburin uang buat yang ga perlu."

Sisi menggoyang-goyangkan tangannya ke kanan dan ke kiri sebagai ekspresi negasi.

"Ga mungkin lah. Orang kaya pasti mikir yang terbaik buat anaknya, Mir. Kayak urusan ngekos deh. Mana mungkin kalo ortunya kaya, Ocha justru lebih milih ngekos di tempat butut kayak kosan aku. Paling ga milih kosan kayak punya Anike lah."

Anike adalah mahasiswi Sastra Inggris angkatan 2006 yang terkenal cantik di kampusku. Dia satu-satunya mahasiswa yang pergi ke kampus jelek Bahasa dan Sastra dengan naik mobil. Orang-orang tahu kalo Anike ngekos di Darmaloka yang kata orang-orang harga sewanya per bulan mahal sekali karena dilengkapi fasilitas bak hotel. Maklum, orang tua Anike adalah pengusaha minyak.

"Mungkin aja ortunya agak anti mainstream gitu." Aku nyengir.

Sisi tertawa. "Terus nih ya Ocha juga pernah bilang kalo selama sekolah dulu di kota asalnya dia selalu perawatan kulit gitu kan. Eh, pas aku ajak ke klinik kecantikan di sini masa dia bilang harga gopek mahal? Masa orang yang sering perawatan kulit nganggep harga segitu mahal? Ya biasa aja kali."

"Mungkin dia perawatannya di salon bukan di klinik kecantikan."

"Ah, bisa jadi sih."

Aku mengedikkan bahu lalu menjajal selembar pisang Pontianak yang masih hangat setelah siomay di piringku tandas. Sumpah, aku merasa lapar lagi. Padahal biasanya aku tidak akan sanggup ngemil apapun kalau sudah makan malam. Apa mungkin tadi saat makan malam aku lupa berdoa sebelum makan? Atau mungkin efek gibah ini sehingga setan ikut makan denganku?

"Terus masa dia pinjem duitku dua ratus ribu sampe sekarang belum dibalikin. Kalo orang kaya ngapain pinjem duit. Ya kan? Tinggal telpon ortunya aja dong buat transfer. Masa anak orang kaya ga dikasih kartu kredit gitu?"

"Ya ditagih aja, Si."

"Udah. Tapi banyak alesan dia."

Aku terdiam. Sudah bukan rahasia baru kalau orang yang berutang sering susah ditagih bayar utangnya. Bahkan kadang lebih galak dari yang menagih utang. Padahal, andai mereka yang berutang tahu, bahwa menagih utang itu wajib agar ketika si orang yang berutang ini mati kelak tak akan disusahkan matinya karena masih meninggalkan sangkutan.

"Kira-kira Ocha itu ada masalah apa ya, Si?"

"Sampe bikin dia ngehalu gitu?" Tanya Sisi balik yang kujawab dengan anggukan.

"Ga tau. Mungkin rada terganggu kali dia. Atau dia bisa aja butuh pengakuan dari orang lain biar dipandang wah."

Aku tersenyum miris. Andaikan semua yang dikatakan Sisi soal Ocha benar, aku harap Ocha bisa segera sembuh. Aku merasa kasihan dengan orang seperti ini. Apa mereka tidak lelah terus-terusan mencari pengakuan dari orang lain? Bukankah hidup apa adanya justru lebih menenangkan?

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang