Bab 50| KKN: Kayak Apa Ya Rasanya?

144 22 2
                                    

KKN. Kuliah Kerja Nyata. Salah satu syarat kelulusan di jurusanku ya dengan mengikuti KKN ini. SKS-nya ada 4. Bobot terbesar sejauh ini dibanding mata kuliah yang lain bahkan lebih besar dari skripsi yang cuma 2 SKS.

"KKN? Wah, seru tuh!" Kata Mbak Anjani saat dia kutelpon. Sebenarnya aku mau menelpon ibuku (ga penting juga tahu kabar kakakku yang nyebelin itu) tapi ternyata ibuku lagi belanja slash gibah di warung tetangga jadi akhirnya yang angkat telepon mbakku.

"KKN tuh asyik loh, Mir, walau ada ga asyiknya juga sih." Lanjutnya masih dengan semangat.

"Asyiknya apa emang?"

"Kamu bisa ketemu temen-temen yang lain dari jurusan dan fakultas lain. Jadi circle kamu makin luas."

"Bah, sok Inggris kamu, Mbak!"

"Lah, kan aku dulu emang dari Fakultas Bahasa Inggris."

"Oh iya ya." Aku tertawa sementara kudengar Mbak Anjani mendengus.

Iya, Mbak Anjani memang dulunya berkuliah di FKIP jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tapi bukan berarti aku memilih kuliah di jurusan yang sekarang karena ikut-ikutan dia lho ya. Kebetulan minat kami memang sama. Jujur saja, aku dan Mbak Anjani memang memiliki banyak kesamaan terutama di selera musik dan pakaian. Oleh sebab itu, aku memang lebih dekat dengannya (selain fakta bahwa dia kakak yang ada persis di atasku karena aku masih punya satu kakak lagi bernama Mbak Ajeng).

"Terus, terus, kalo ga asyiknya apa dong?" Tanyaku penasaran.

"Ga asyiknya itu sering ada cinlok. Jadi kalo kamu udah punya pacar harap waswas karena bisa jadi pacar kamu selingkuh sama temen seposkonya. Eh, tapi kamu kan jomblo ya, Mir, jadi ga perlu waswas. Tapi cinlok mungkin bisa sih." Mbak Anjani terkekeh di seberang sana.

Aku tertawa sebagai formalitas padahal candaan Mbak Anjani ga lucu sama sekali. Aku malah jadi kepikiran sama kata-katanya barusan. Cinlok? Kalo gitu Radit bisa juga...

"Mir. Mir. Samira!"

"Astagfirullah." Aku beristighfar gara-gara Mbak Anjani memanggilku dengan berteriak.

"Kamu kenapa sih kok diem aja? Ngelamun? Apa lagi boker?"

"Enak aja boker."

"Berarti ngelamun ya? Hayo, ngelamunin apa? Lagi ngebayangin nanti bakal cinlok sama anak jurusan lain yang ganteng gitu ya? Ga usah ngehayal nanti kecewa." Ledek Mbak Anjani lagi.

Ah iya, Mbak Anjani dan keluargaku memang tidak ada yang tahu kalau aku sudah punya pacar. Selama ini aku menjalani pacaran backstreet dengan Radit. Bahkan sepertinya Radit sendiri juga tidak tahu (dan tidak perlu tahu) kalau aku tidak pernah memproklamirkan apa-apa pada keluargaku. Aku bukannya dilarang pacaran hanya saja aku merasa tak nyaman kalau harus berbicara masalah pacaran pada keluargaku. Lagipula ini baru tahap pacaran kan jadi tak perlu dianggap serius. Ah, serius ya. Jangan-jangan selama ini Radit juga menganggap hubungan kami tidak serius.

"Udaaaah santai aja, Mir. KKN ga serem kok meski biasanya ada kejadian serem sih. Tapi ga usah dipikirin. Santai aja. Udah tau penempatan dimana?" Mbak Anjani tiba-tiba membuka percakapan lagi setelah tadi ada jeda hening. Mungkin dipikirnya aku galau karena mikirin KKN-nya padahal karena aku mikirin cinlok itu.

"Hmm, Brebes. Makanya aku telpon ibu buat ngasih tau eh ternyata yang angkat telpon pentil kecakot."

Mbak Anjani tertawa kencang. "Ya ampun, masih inget aja akronim dari ayah jaman jebot itu!"

Fyi, pentil kecakot itu adalah akronim yang dipopulerkan oleh ayahku di rumah. Pentil kecakot itu kependekan dari penjaga tilpun kecamatan kota. Akronim itu muncul saat aku masih duduk di bangku SD saat kami pertama kalinya memasang telepon rumah. Akronim itu muncul gara-gara ibu sering meledek ayah norak karena ayah sering duduk di samping pesawat telepon untuk mengangkat panggilan seperti penjaga telepon atau operator.

"Hmm, Brebes ya. Yang banyak bawang itu kan?" Tanya Mbak Anjani setelah derai tawanya reda.

"Iya. Gimana ya hidup di sana?" Aku menerawang.

"Ya dijalanin aja dong ah. Ga usah nanya. Kapan sih berangkatnya?"

"Seminggu lagi." Jawabku.

"Selamat berjuang buat KKN ya, Adekku. Eh, ikut KKN-nya program apa sih?" Mbak Anjani itu memang cerewet sekali. Dia selalu banyak bertanya ini-itu.

"PBA. Pemberantasan Buta Aksara."

"Wah, jangan-jangan Brebes-nya yang pelosok tuh, Mir."

"Ah, kamu tuh, Mbak, jangan nakut-nakutin dong. Tinggal di kota aja belum tentu betah malah disuruh tinggal di pelosok. Nanti jangan-jangan ga ada listrik, ga ada kamar mandi, ga ada orang jualan jajan-"

"Aduh, KKN kok mikirnya jajan. Semprul!" Maki Mbak Anjani.

Aku terkekeh. "Masa sih di pelosok? Serius?"

"Soalnya PBA, Mir. Masa KKN PBA nyarinya di daerah kota. Ya ga bakal nemu lah orang yang masih BA alias buta aksara."

Iya bener juga sih.

"Nanti makin asyik tuh kalo di pelosok. Ga ada listrik, kalo mau mandi kudu ngambil air yang jauh dulu, kalo mau pup ke sawah atau semak-semak, kalau makan lauknya daun singkong atau rebung, terus-"

"Udah ah, Mbak. Kalo pas telpon rumah tapi kamu yang angkat malah jadi kayak dengerin siaran radio horor." Aku menghentikan ucapan Mbak Anjani yang membuatku bergidik ngeri. Mbak Anjani justru tertawa puas. 

"Dasar anak kota! Baru diceritain gitu doang udah takut. Eh, Mir, kamu nanti bakalan betah kok. Itu nanti buat cerita anak cucu. Ga papa kali memperkaya khazanah kehidupan kamu yang datar-datar aja."

"Iya, iya. Bawel. Udah ah. Bilangin ke ibu, aku berangkat ke Brebes seminggu lagi. Gitu ya. Kalo ibu sempet telpon ya telpon aja kalo ga ya nanti pas KKN aku yang telpon. Kalo ada sinyal tapi. Udah deh ah. Assalamu'alaikum."

Mbak Anjani masih terkekeh tapi dijawabnya juga salamku. "Wa'alaikum salam."

Aku lalu merenungi nasibku selama 45 hari di Brebes nanti. Kalau aku benar-benar KKN di desa terpencil bagaimana rasanya ya? Apa aku akan baik-baik saja? Membayangkan hidup tanpa listrik, tanpa TV, tanpa ponsel, tanpa air bersih, tanpa WC, oh itu semua mimpi buruk. Apalagi kalau harus makan dengan lauk daun singkong, rebung, dan daun-daunan lain yang sama sekali tak kusuka. Itu mengerikan! Rasanya aku tidak ingin KKN saja.

***

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Where stories live. Discover now