Bab 10| Pencitraan Sang Gebetan

249 39 0
                                    

"Gila! Masa udah hampir satu semester kuliah gue belum nemu cowok ganteng di kampus kita?" Anty mendesah kecewa. Dia sibuk berebut permen Fox hasil kembalian dari fotokopi di kantin kampus dengan Silvi.

"Kan gue yang dapet kembaliannya jadi permen ini punya gue dong." Silvi mempertahankan permen itu seolah permen itu adalah harta berharga baginya.

"Gue minta dong. Ga bakal lo makan kan?" Anty berkeras merebut.

Aku geleng-geleng kepala melihat kelakuan ajaib mereka berdua. Ya Allah, kenapa Kau menganugerahkan teman-teman yang aneh begini untukku? 

"Emangnya kenapa kalo ada yang ganteng di kampus?" tanyaku.

"Ya kan kalo di kampus ada yang ganteng kuliah jadi lebih semangat." Anty berusaha memberikan alasan. Mulutnya membentuk cengiran lebar karena berhasil merebut permen Fox itu dari tangan Silvi. Sementara Silvi bersungut-sungut sebal di sebelahnya.

"Alasan diterima!" Silvi menyahut sambil mengacungkan tangan. Entah kenapa tiba-tiba saja dia bersekutu dengan Anty padahal baru beberapa detik lalu mereka baku hantam.

"Lo ngapain ikutan? Kan lo udah taken." Tita tampak tak terima.

"Lah, emang kenapa kalo udah taken? Kalo cuma ngeceng doang kan ga dosa."

"Pacaran tuh yang dosa," aku memotong.

"Iya, Ustadzah." Mereka serentak menyahut.

"Eh, ada kok yang ganteng. Pendiem dan alim pula. Kelas kita juga. Ya kan, Ty?" Aku mengerling pada Anty. Anty awalnya tampak bingung. Mungkin berusaha mengingat siapa gerangan cowok ganteng yang dimaksud olehku.

"Aahh iya bener," tiba-tiba Anty berseru. "Fiki namanya kalo ga salah. Fiki kan bener, Mir?"

"Yang pendiem itu?" Tita berusaha mengkonfirmasi. Aku dan Anty mengangguk semangat.

"Yang mana sih?" Silvi bertanya bingung. Ah, oke. Kalo untuk urusan ingat-mengingat Silvi emang juaranya. Juaranya lupa maksudnya.

"Cape deh!" Aku, Anty, dan Tita mendesah sebal.

"Nah, itu tuh itu. Arah jam dua belas," aku menepuk-nepuk pundak Silvi, Anty, dan Tita dengan heboh.

Aku melihat keberadaan Fiki di koridor seberang sedang berjalan dengan salah seorang teman sekelas kami yang aku lupa namanya.

"Mana sih?" Silvi menyipitkan matanya untuk memfokuskan pandangan padahal dia sudah sipit dan pakai kacamata. Berulangkali dia membetulkan letak kacamatanya seolah itu akan sedikit membantu indera penglihatannya yang sudah payah. Padahal mataku pun sudah minus tiga tapi gara-gara penglihatanku yang buruk ini, aku mudah mengingat penampilan orang apalagi kalo modelan anak cowok yang bajunya itu-itu aja. Dari jauh pun sudah bisa ditebak. 

"Itu loh arah jam- Sekarang arah jam dua. Noh, yang lagi berhenti di depan sekre. Yang pake kaos polo warna putih sama celana jeans item," aku menjelaskan pada Silvi sementara Silvi masih sibuk mencari.

"Oh, itu-" Silvi menoleh ke arahku dan Anty bergantian. "Yang begitu selera lo pada?" Ada nada mengejek begini-doang-selera-lo dalam kata-katanya.

"Ah, cowok lo juga kagak ganteng-ganteng amat, Vi!" ejekku.

"Sialan!" umpat Silvi sambil menoyor kepalaku. "Yang penting duitnya banyak," cengirnya licik.

Aku, Anty, dan Tita ber-huu ria ke arah Silvi.

Perlu diketahui, pacar Silvi itu bodinya kayak gorila. Tinggi, gede, item, galak. Posesifnya minta ampun. Selain teman perempuan, Silvi tidak diperbolehkan pergi dengan siapapun. Ponsel Silvi pun hanya berisikan kontak keluarga Silvi dan teman-teman perempuannya. Pacar Silvi itu berstatus pengangguran karena tidak kuliah tapi punya ortu yang tajir sehingga Silvi selalu "dibiayai" oleh pacarnya. Dan karena menganggur itulah, Silvi diantar jemput oleh sang pacar dari rumah ke kampus dan sebaliknya. Aku sampai heran apa semua orang yang lagi jatuh cinta itu bodoh ya? Yang satu diporotin mau aja, yang satu lagi dikekang juga mau aja. Ckckck.

Balada Mahasiswa: F R N D S (TAMAT)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin