[20] Peringatan

46 7 40
                                    

***

Semua orang patut untuk diperingatkan tentang suatu hal. Agar, tidak menimbulkan sebuah masalah yang berbahaya.

***

Ruby dan Abyan sudah sampai di perusahaan milik Hendra. Abyan bisa melihat sedari tadi, Ruby tampak gelisah. Mungkin, karena paket yang gadis itu dapatkan sepulang sekolah tadi. Namun, cowok itu berusaha diam, menunggu Ruby mengatakan sesuatu atau segala hal yang menyebabkan gadisnya itu gelisah.

Mata Ruby memang fokus dengan berkas yang ada di meja. Akan tetapi, tangannya tak bisa diam meremas rok seragamnya. Entah ketakutan apa yang membuatnya seperti itu.

Abyan menghela napas, lalu menoleh ke arah Ruby.

"Kalo ada masalah bilang, jangan diam aja." Abyan menatap Ruby cukup lekat.

"Aku nggak apa-apa kok, Kak. Cuma—" kata Ruby, terpotong. Ia harus mencari alasan, untuk mengalihkan pembicaraan.

"Cerita aja, gue siap dengerin apapun keluh kesah lo. Walaupun, mungkin sudut pandang kita berbeda. Tapi, pasti ada jalan tengahnya," kata Abyan, sekarang sudah fokus dengan laptop miliknya.

Ruby terdiam, ia sadar cowok di sampingnya itu sekarang sudah mulai berubah.

Kak Abyan berubah jadi lebih manis, lembut, dan ganteng.

Astaga. Aku kenapa jadi mikirin soal itu.

Ruby menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pemikiran kacaunya itu. Mungkin, ini efek dari terkena bola tadi ketika di sekolah.

"Lo kenapa geleng-geleng kepala? Masih pusing? Kalo gitu, mending istirahat aja di sana," kata Abyan, memperhatikan wajah Ruby yang masih pucat, lalu menunjuk ke sebuah sofa yang ada di ruangan itu.

"Aku nggak apa-apa, masih bisa bantu Kak Abyan kok," kata Ruby, sedikit gugup setelah mendapat perhatian Kakak kelasnya itu. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya, agar bekerja secara normal lagi.

Abyan hanya menaikan alisnya, ia tahu Ruby sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Saran gue, lo istirahat. Pekerjaan kayak gini, gue bisa kerjain sendiri. Jangan khawatir, nurut aja. Biar gue nggak emosi lagi kayak waktu itu," kata Abyan, mengingat ia pernah sangat emosi ketika gadis itu tak mau mendengarkan perkataannya.

Ruby menuruti perkataan cowok itu, ia duduk diam di sofa. Namun, gadis itu diam-diam memperhatikan Abyan yang sedang fokus mengerjakan sesuatu di laptop. Ia merasa kagum dengan cowok di depannya itu, ada sisi lain yang tersimpan sekarang terlihat dari diri Abyan. Tanpa sadar, senyumnya terbit melihat cowok itu berubah. Walaupun, ia tahu perubahan itu terjadi karena perjanjian yang mereka berdua sepakati.

"Kak, kacamataku kan pecah. Jadi, aku harus nurutin permintaan Kakak yang nyuruh nggak pake kacamata?" tanya Ruby, sedikit hati-hati karena takut Abyan marah kepadanya.

"Iya. Itu pun kalo lo nggak mengingkari perjanjian yang udah disepakati, lagian mata lo normal nggak perlu kacamata," kata Abyan, tanpa melihat ke arah Ruby. Cowok itu masih fokus dengan berkas yang ia teliti dan kerjakan.

"Kakak harus sopan sama Om Hendra, Tante Maya, dan Kak Zhafran kayak kemarin?" kata Ruby lagi, kali ini membuat cowok itu menghentikan pekerjaannya.

Abyan menatap Ruby cukup tajam. "Apa perubahan gue dari semalam belum cukup jadi bukti? Atau mau perjanjian ini batal?"

Ruby menggeleng kuat, ia tak mau berhenti di tengah jalan. Apalagi, ia senang melihat perubahan cowok di depannya itu. Yang terlihat lebih manis dan lembut.

By Love [Re-Publish] [Completed] Where stories live. Discover now