47. Akhir Tak Bertepi

4.7K 411 124
                                    

"Jangan pernah merasa bangga dengan apa yang kita miliki, karena poros waktu akan selalu berputar. Jika hari ini kita punya harta, belum tentu ke depannya harta itu masih milik kita."

Hampir 4000 kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir 4000 kata. Selamat membaca!
Semoga endingnya gak nyesek dan bisa tidur nyenyak (:

Are you ready?

Hidup memang penuh akan misteri dan tanda tanya. Tidak selamanya sesuai dengan ekspektasi manusia. Terkadang, seseorang berada di atas. Namun, di lain waktu ia berada di bawah. Setiap orang telah punya jatah masing-masing untuk merasakan kebahagiaan dan kepahitan hidup.

Pada bagian belakang rumah bertingkat dua duduk seorang lelaki paruh baya. Ia tampak lesu sambil menatap ikan-ikan kecil di kolam. Sesekali ia terbatuk-batuk karena kerongkongan yang terasa kering. Usianya mulai menua, ia tak sekuat dulu.

Tiba-tiba, seorang pemuda dengan pakaian rapi datang menghampiri lelaki paruh baya tadi. "Papi ngapain di sini?" Tanyanya pelan agar tidak mengagetkan.

Alamsyah tersenyum kecut. Lalu kembali menatap ikan-ikan yang mulai melahap umpannya dengan serakah. "Biasa, cari angin luar," balasnya. Alamsyah menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya, meminta sang anak turut duduk.

Lelaki yang mengenakan kemeja dan celana panjang itu mengikuti titah. Ia duduk dan memijat pelan lengan sang ayah. Sebenarnya ia sendiri juga lumayan lelah karena baru saja pulang dari kantor, tapi tetap harus terlihat kuat. Alamsyah tidak lagi bekerja, kini semua tanggungjawab diserahkan padanya.

"Jangan pernah merasa bangga dengan apa yang kita miliki, karena poros waktu akan selalu berputar. Jika hari ini kita punya harta, belum tentu ke depannya harta itu masih milik kita,"

Terngiang dengan jelas nasehat Alamsyah walaupun sudah hampir tiga tahun berlalu. Kemudian, hal itu benar-benar terjadi. Kekayaan yang dimiliki, sudah waktunya undur diri. Alamsyah mengalami kebangkrutan dalam usahanya karena banyaknya pesaing milenial dengan berbagai inovasi baru dalam membangun usaha resort.

"Sudah hampir tiga tahun, tapi Papi masih belum bisa tenang tanpa kabar dari abang kamu," lirih Alamsyah yang menerawang jauh. Kentara sekali betapa ia merindu dan mengkhawatirkan Zulfan.

Di sebelahnya, Zulfi hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Hatinya penuh dengan rasa bersalah karena sudah terlanjur emosi pada Zulfan dulu. Kini dirinya hanya bisa berandai-andai, mengharap suatu hari nanti mereka bisa dipertemukan kembali. Rasanya ingin sekali ia memeluk Zulfan dan meminta maaf karena sudah terlepas kata.

"Kamu tau nggak, pagi itu ketika ke bandara, Aqila cerita ke Papi kalau dia sedang mengandung. Papi juga kasih tau Aqila untuk bersabar sebentar lagi karena Papi akan ceritakan semuanya ke Zulfan. Tapi kamu sudah membocorkannya lebih dulu. Mereka pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Entah seperti apa nasib mereka sekarang. Apakah bayinya bisa hidup? Entahlah ...." mata Alamsyah sudah menganak sungai mengingat nasib Zulfan dan Aqila pada malam itu. Belum lagi Zulfan yang hidup begitu bersih dan teratur, pasti akan sulit beradaptasi dengan dunia luar.

Salah Terima Khitbah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang