29. The Last Chance

1.7K 250 70
                                    

Rembulan terlihat indah bersama bintang-bintang di malam hari. Pekatnya malam, sama sekali tidak terasa karena begitu terangnya bulan itu. Sebagian manusia menjadikan malam sebagai sarana peristirahatan, sementara sebagiannya lagi masih bergulat dengan segelintir pekerjaan yang tiada henti.

Sarah baru saja selesai menerima telepon dari seseorang, mengobrol tentang hal yang begitu sensitif, tiada berkesudahan. Antara sedih, sebuah keharusan, dan ratusan alasan lainnya.

Wanita dengan sisa-sisa kecantikannya itu menuju kamar anak semata wayangnya, hendak menyampaikan sesuatu pada Aqila.

"Aqila, ada yang mau Mama bicarakan," katanya datar setelah duduk di ranjang single milik Aqila. Sementara Aqila yang sudah duluan duduk di atas sana, tampak begitu sibuk dengan laptop di pangkuannya. Gadis itu mendengarkan tanpa memberikan respon apa-apa.

"Pernikahan kamu dengan Zulfan akan segera digelar,"

Tidakkah ibunya mengerti, bahwa Aqila sedang berusaha fokus dengan skripsi. Aqila juga sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak mau menikah dengan Zulfan, dirinya tidak mencintai Zulfan. Namun, Sarah terus saja meminta Aqila memenuhi kehendaknya.

Aqila hanya diam manakala hari-hari sebelumya. Ia sudah muak. Gadis itu meraih secangkir kopi susu yang masih hangat, kemudian menyesapnya perlahan dengan mata yang masih fokus menatap setiap paragraf dari skripsinya.

Setelah melangsungkan seminar proposal seminggu yang lalu, Aqila mulai  mengerjakan bab empat yang berisi hasil pengolahan data, analisis pengolahan data dan pengujian hipotesis. Walaupun tinggal dua bab lagi, tetapi semua itu tak kalah memusingkan. Kantung mata gadis itu masih menghitam. Skripsi benar-benar menyita waktu tidur Aqila.

Sarah berdecak kesal karena gadis berkaos biru muda itu menghiraukan dirinya. Kemudian ia memberikan informasi yang mengejutkan, agar gadis itu sadar. "Acaranya tiga minggu lagi,"

Jari-jemari Aqila yang tadinya menari gemulai di papan keyboard, kini mendadak terhenti. Aqila mendongak menatap wanita yang selama ini terus bersamanya, sekaligus membuat hidupnya terasa berbeda di akhir-akhir ini. Aqila merasa kehilangan energi membayangkan ibunya yang begitu suka memaksa.

"Kenapa nggak Mama aja yang nikah? Aku sibuk sama skripsi," respon Aqila dingin sambil menjatuhkan tatapannya pada buku tebal di sebelahnya. Ia membolak-balikan lembaran naskah itu untuk mencari rujukan untuk skripsinya.

"Soal skripsi bisa diselesaikan setelah menikah. yang penting kamu menikah aja dulu,"

"Begitu ya? Segampang itu? Kenapa Mama begitu egois?" Aqila bertanya sekaligus menyampaikan keluhannya.

"Egois dimananya? Mama menginginkan yang terbaik untuk kamu. Itu saja," balas Sarah membela diri.

"Terbaik untuk Mama, bukan untuk aku. Mama bisa nggak sih untuk tidak gila harta?" Tanya Aqila dengan suara meninggi. Tatapannya mengisyaratkan kebencian. Bukan benci dengan ibunya, tapi benci dengan sifat ibunya yang sudah berubah.

"Apa katamu?"

"Ya, Mama gila harta. Mama nikahin aku sama pak Zulfan biar Mama bisa hidup tenang kan? Aku belum pernah melihat ada orang tua yang mengorbankan anaknya untuk kebahagiaan pribadi. Mama egois! Mama dibayar berapa kalau berhasil melakukan semua ini?" Tanya Aqila dengan emosi menyala. Mungkin kalau dia diam saja, maka ibunya akan semakin menjadi. Biar sesekali ia bersuara.

Sebuah tamparan keras singgah di pipi mungil gadis itu. Aqila meringis sebentar, lalu tertawa getir. Ini balasan dari seorang ibu ketika anaknya menolak dinikahkan.

Sarah menatap Aqila tajam, lalu menunjuk tepat di mata gadis itu, sambil berkata dengan nyaring. "Jangan memperdebatkan orang yang mengajarimu berbicara!"

Salah Terima Khitbah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang