25. Patah Hati Bareng

1.8K 271 28
                                    

Pemandangan yang disajikan di kebun teh seakan menyejukkan mata siapapun yang memandang. Perkebunan yang memiliki luas 438 Ha ini memiliki suhu yang cukup dingin. Kicauan burung di pagi hari, menambah suasana menjadi semakin nyaman.

Seorang gadis duduk di atas rumput dengan laptop di pangkuannya. Sesekali ia menyesap teh hangat yang ada di botol minuman yang ia bawa.

Gadis dengan jaket tebal itu sengaja memilih tempat ini untuk mencari inspirasi. Dari sini dapat terlihat pemandangan perkebunan teh yang menghampar bak permadani raksasa.

Seminggu lalu Aqila telah mengajukan judul skripsi pada dosen pembimbingnya. Gadis itu lumayan lega walau pada proses pengajuan judul seringkali mendapat kritikan pedas karena judul dengan tema yang kurang sinkron ataupun poin permasalahan yang Aqila angkat terlalu biasa.

Tadi malam, sang dosen sudah menerima judul skripsi yang diajukan Aqila, sehingga pada pagi ini semangat gadis itu begitu membuncah untuk memulai skripsi.

Yang ada dalam pikiran Aqila saat ini adalah, ia harus lulus sesegera mungkin. Selain faktor beasiswa yang sudah berakhir, gadis itu juga ingin menentang keras permintaan ibunya untuk menikah. Aqila harus memasang strategi untuk segera lulus dan mencari pekerjaan. Memang, di negara ini cukup sulit untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi Aqila akan berusaha berdasarkan skill yang ia punya.

"Allah nggak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesusahan terus-menerus. Semangat Aqila, tinggal sedikit lagi perjuanganmu dalam kuliah ini!" Kata gadis itu menyemangati diri sendiri.

Kesepuluh jemarinya menari-nari di atas keyboard untuk mengalirkan kata demi kata. Semangatnya terpacu.

Namun, tangan dan otaknya bergerak melamban ketika melihat panggilan dari Zulfi lewat teleponnya.

Dua hari ini mereka terlibat selisih paham dimana acapkali terjadi pertengkaran. Selalu saja Zulfi menyalahkan Aqila dan meminta Aqila bersabar jika memang mencintainya. Ya,walaupun Aqila ingin menentang permintaan sang ibu, gadis itu juga bersiap-siap jika nanti akan dipaksa menikah. Maka dari itu dirinya membicarakan hal ini pada Zulfi juga.

"Halo," lirih Aqila ketika mengangkat panggilan itu.

"Kan aku udah bilang, aku nggak siap nikahin kamu sekarang. Kenapa malah berkali-kali ngirim pesan sih? Jawaban aku masih sama, Qila!"

"Tapi mama aku mengancam akan nikahin aku sama orang lain kalau kamu nggak bertindak apa-apa,"

"Ya terserah. Itu tandanya kita nggak jodoh!" Jawab Zulfi tanpa memikirkan perasaan Aqila.

"Kamu nggak mau berjuang, Fi?" Tanya Aqila sebak. Setitik air matanya ikut menetes.

"Kalau kamu mau sama aku, berarti kamu harus sabar dulu. Aku juga masih kuliah, belum punya pekerjaan. Aku belum mampu untuk bertanggungjawab. Sampai sini paham kan?" Terdengar lugas sekali jawaban Zulfi dari seberang telepon, Aqila hanya bisa meremas kuat jaketnya. Dinginnya pagi membuat tubuh Aqila kian menggigil.

"Tapi, Zulfi. Apa nggak ada cara lain? Kamu bisa meyakini mama aku terlebih dahulu, mungkin," pinta Aqila penuh harap. Aqila juga belum siap untuk menikah, tetapi tuntutan itu membuat kepalanya memanas.

"Percuma kalau mama kamu pengennya dapat menantu seperti bang Zulfan. Aku telfon kamu cuma buat bilang ke kamu untuk tidak berekspektasi besar sama aku. Aku bukan mantu idaman mama kamu. Aku matiin telfonnya ya?"

Aqila menggelengkan kepalanya walaupun ia tahu Zulfi tidak bisa melihatnya. Air matanya sudah bercucuran saja tanpa disadari. "Zulfi, tolong jangan matiin dulu. Mana janji kamu untuk serius sama aku? Kamu lupa? Kamu nggak sayang sama aku? Kamu nggak kasihan dengan keadaan aku saat ini?"

Salah Terima Khitbah ✔Where stories live. Discover now