28. Motivasi

1.7K 260 55
                                    

Waktu menunjukkan pukul enam pagi, bersamaan dengan alarm yang berbunyi dengan nyaringnya dari jam beker. Zulfan menutup buku yang baru saja dibacanya, lalu memberikan centang pada paper list bahwa dirinya sudah menyelesaikan jadwal paginya untuk membaca buku motivasi sebanyak dua lembar, buku religi sebanyak tiga lembar. Hal itu selalu dilakukannya setiap pagi senin sampai sabtu.

Bahkan Zulfan juga membaca buku tentang pernikahan kalau ia tidak sedang buru-buru ke kampus. Terkadang  Zulfan selalu bertanya-tanya, mengapa masih saja belum ada perempuan yang menerima dirinya. Ia sudah cukup menjadi calon suami yang baik, tapi belum juga menemukan tulang rusuknya.

Terlebih lagi Aqila. Bukannya jatuh cinta, malah memusuhi Zulfan yang nyatanya terkesan sebagai lelaki galak. Selalunya mereka memperdebatkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan. Tiba-tiba Zulfan menyunggingkan senyum membayangkan gadis itu.

Ah, tapi Aqila sudah memintanya untuk menjauh. Oke, baiklah. Zulfan akan meminta Mariah untuk mencarikan calon istri untuknya. Kali ini Zulfan tidak lagi terlalu pemilih, ia mau menikah dengan siapapun asalkan bisa menerima dirinya yang banyak peraturan, dan yang paling penting, bisa berbahasa Melayu.

Zulfan menaruh bukunya di tempat semula dengan sangat rapi. Lalu agak mundur untuk memandangnya dari kejauhan.

Matanya menyipit, setelah memajang buku-bukunya di rak, masih terkesan tidak pas. Zulfan mendekat lalu membaca setiap judulnya dengan teliti. Ternyata kurang satu. Zulfan seketika panik. Jendela ilmunya hilang.

Bola mata Zulfan melebar, menyapu setiap sudut kamar. Mungkin ia lupa menaruh kembali di rak buku.

Zulfan sudah mencari di meja belajar, di atas sofa, bahkan di ranjang, tetapi tidak diketemukan.

Itu buku yang dibelinya ketika di Malaysia, sebuah buku motivasi menghadapi dosen ketika bimbingan. Seingatnya tidak ada yang membereskan  kamarnya karena Zulfan sudah cukup mandiri. Bahkan untuk pakaiannya saja, ia mencuci dan menyetrika sendiri walaupun keluarganya membawa semua pakaian kotor ke laundry. Zulfan tidak rela pakaiannya disentuh oleh orang yang tidak dikenal.

Lelah mencari, Zulfan duduk di ranjang sambil menatap kakinya yang ia ayun-ayunkan. Otaknya tidak pernah istirahat merisaukan bukunya yang hilang.

"Macam mana boleh hilang? Siapa pulak yang suka baca buku macam tu?"

Seperti mendapatkan ilham, Zulfan segera bangkit lalu keluar dari kamarnya dan memasuki kamar Zulfi tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sengaja.

"Bang, aku baru siap mandi!" Protes lelaki dengan menyilangkan tangan di dada dengan handuk terlilit selutut. Terkadang Zulfi se-lebay itu. Sebenarnya ia tidak masalah, hanya saja terkejut dengan Zulfan yang masuk ke kamarnya tanpa permisi.

"Abang ingat kamu belum bangun lagi. Abang masuk jer la, nak kejut kamu," balas Zulfan santai.

Zulfan menatap ke sekeliling, dan menemukan bukunya yang tergeletak di lantai dengan keadaan terbuka. Kulit kacang dan botol minuman kosong berserakan di sekeliling bukunya. Oh tidak, Zulfan tidak jadi bersikap santai. Tadinya ia ingin memaafkan, tapi terlanjur batal.

Zulfan menatap horor pada adiknya yang sudah memakai kemeja hitam dengan lengan yang sudah disikut ke siku.

Sementara Zulfi malah kepedean ditatap oleh abangnya. Ia menyugar rambutnya ke depan sambil menatap cermin. Sesekali menaikkan sebelah alisnya untuk membayangkan betapa tampannya ia kalau sudah seperti itu. Seperti kata mantan-mantan gebetannya.

Zulfi baru saja ingin menyemprotkan parfum di tengkuknya, tapi suara Zulfan membuatnya menghentikan kegiatannya.

"Kau dah amik buku Abang, kau amik pulak parfume Abang? Hiihh tampan tak de modal!" Zulfan merebut kembali parfumnya di tangan Zulfi.

Salah Terima Khitbah ✔Where stories live. Discover now