4. Proposal

3.5K 386 45
                                    

Waktu masih menunjukkan jam sembilan pagi, tetapi cuaca sudah terik saja. Aqila memarkirkan motor bututnya di tengah-tengah ratusan motor lain di depan gedung rektorat kampus. Jika ingin parkir di sana, harus serapi mungkin. Kalau tidak, maka security akan menegur lalu berujung dengan rasa malu sendiri karena jadi bahan tontonan beberapa pasang mata.

Gadis berusia dua puluh tahun itu ada keperluan dengan wakil rektor tiga. Ia hendak mengajukan proposal agar mendapat dana akomodasi dalam lomba yang diikutinya. Kebetulan lomba yang sedang diikuti Aqila adalah lomba tingkat nasional yang membutuhkan biaya lumayan untuk datang ke kampus penyelenggara lomba tersebut. Ya, Aqila lolos ke babak final. Ia sudah mengantongi sepuluh besar dan namanya ada di urutan ke tujuh.

Dengan langkah penuh kehati-hatian gadis yang memakai gamis longgar itu memasuki gedung berwarna abu-abu. Menaiki lantai tiga, lalu berbelok ke kiri. Terpampang dengan jelas di gantungan plastik tertera nama warek tiga di pintu yang bermaterial kayu itu.

Ini bukan pertama kalinya Aqila datang ke ruangan wakil rektor tiga. Pasalnya, setiap mengikuti lomba yang membutuhkan banyak biaya, gadis itu akan selalu datang ke sana karena pak warek tiga terkenal begitu mengayomi mahasiswa yang berprestasi dan memiliki semangat tinggi dalam mengikuti event. Bagaimana tidak, kalau mahasiswanya bisa menang, yang terkenal kan kampus juga.

Sebuah hal yang membanggakan ketika Aqila sukses mengharumkan nama kampusnya seperti ketika gadis itu berhasil memenangkan pionir semester lalu. Maka dari itu, Aqila tidak merasa takut ketika menghadap warek tiga di universitas itu.

Sebenarnya bisa saja Aqila mengajukan proposal ke jurusan dulu, tapi ia tidak bisa berbohong bahwa di jurusan akan sulit mendapatkan dana. Apalagi ketua jurusannya merupakan seorang dosen yang terkenal judes kepada mahasiswi. Ya, hanya kepada mahasiswi. Maka dari itu, Aqila tidak ingin membuang-buang waktu demi mengemis pada dosen berlipstik merah menyala itu. Meminta bantuan pada dekan juga urung dilakukan Aqila karena ia tidak begitu kenal dengan dekan fakultasnya.

Usai mengucapkan salam dan mengetuk pintu, gadis itu memutar gagang pintu lalu mendorongnya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang pria gagah duduk dibalik meja yang berada di sebelah kanan pintu. Lelaki itu sedang fokus dengan tampilan layar laptop. Entah apa yang sedang ditatapnya, matanya sampai sipit dan keningnya menampilkan kerutan.

Aqila belum pernah bertemu orang ini sebelumnya, tetapi di ruangan itu juga tidak ada tanda-tanda keberadaan pak warek.

"Pak?" panggil Aqila. Sebenarnya dirinya sangat tidak suka terlibat dalam suasana seperti ini. Rasanya begitu canggung.

"Ya, cari siapa?" balas pria tadi dengan logat Melayu. Ya, Melayu. Aqila sampai terperangah sejenak.

"Saya cari pak Ahmed, apa beliau ada?"

Lelaki yang ber-nametag Aiman Zulfan itu mendongakkan kepalanya demi menatap Aqila ketika gadis itu menanyakan atasannya.

"Tak de. Cuti kat overseas. Ada perlu apa ya?"

"Mau ngajuin proposal, Pak," balas Aqila pelan.

Zulfan meminta Aqila untuk duduk pada kursi dihadapannya yang terhalang oleh meja. Setelahnya membaca sejenak proposal yang diserahkan Aqila.

"Siapa nama awak?" tanya Zulfan sembari membolak-balikan lembaran kertas yang tadinya diberikan Aqila.

"Aya Aqila, Pak," Zulfan menatap lekat setelah tahu nama dari gadis di hadapannya itu.

"Sekarang ni semester berapa?"

"Semester lima, Pak," Balas Aqila. Zulfan manggut-manggut lalu menutup proposal itu.

Salah Terima Khitbah ✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant