13. Talking About Us

2.3K 304 78
                                    

Aqila sudah berada di cafe sejak satu jam yang lalu. Ia juga telah mengabari Hakim –manajer sekaligus owner cafe yang baru dibuka dua bulan ini– bahwa Aqila akan menemuinya untuk membahas kejadian kemarin.

Aqila begitu terkesan dengan Hakim yang mempekerjakan mahasiswa saja di sana. Bukan berarti Hakim tidak menghargai mereka yang tidak kuliah, tetapi Hakim membuka wadah pekerjaan untuk para mahasiswa agar lebih semangat kuliah. Dirinya tahu betul bagaimana rasanya menjadi mahasiswa, memiliki banyak kebutuhan tapi tidak berani meminta kepada orang tua.

Kedai kopi itu dirintisnya sejak dua bulan lalu. Masih banyak sekali kekurangan dan permasalahan yang terjadi. Namun, Hakim berjanji akan terus memperbaikinya.

Aqila merasa dirinya bagai mahasiswa yang tengah mengikuti sidang saja. Dirinya sudah ketar-ketir tidak karuan. Di depannya sudah duduk Hakim dengan tatapan tak bisa diartikan.

"Gimana ceritanya sih sampe berantem sama pengunjung?" tanya Hakim sambil menatap gadis yang terus menunduk itu.

Aqila menghela napas kemudian memulai untuk menceritakan kejadian kemarin sesuai versinya. Tetap saja Zulfan yang salah, menurutnya.

"Berarti kamu nggak cocok jadi pelayan, semua pelanggan bisa lari kalau ketemu sama kamu," Hakim menyimpulkan. Sebenarnya ia ingin tertawa mendengar keabsurdan kisah Aqila dan Zulfan yang sama-sama membela diri sendiri. Kemarin, Hakim sudah mendengar cerita dari Zulfan, yang merupakan temannya ketika SMA. Benar saja, Zulfan menyalahkan Aqila. Malang sekali nasib Zulfan. Maksud hati untuk reuni dengan teman SMA, malah dilayani oleh Aqila yang notabene tidak pernah ramah dengan pengunjung.

"Tapi saya butuh pekerjaan, Bos,"

"Kalau bikin kopi, pasti kamu juga gak tau kan? yang ahlinya cuma Reza sama Dion karena mereka sudah berpengalaman. Lulu pinter bagian melukis. Terus kamu mau di bagian apa?" cafe miliknya itu hanya memiliki 5 orang pekerja, termasuk Aqila. Hakim harus merekrut mereka yang benar-benar ahli di bidangnya. Ia tidak mau usaha yang baru dibangunnya ini sampai rugi.

"Kalau Bos mau memecat saya, tidak apa-apa," jawab Aqila setelah berpikir selama dua menit. Ia memang tidak ahli dalam berinteraksi dengan orang-orang baru. Menjadi pelayan dan ramah terhadap sekitar bukanlah pekerjaan yang cocok untuk gadis introvert sepertinya.

"Kamu anak sastra kan?" tanya Hakim.

"Nama ibu saya Sarah, bukan sastra," balas Aqila dengan polosnya.

"Maksud saya, jurusan kamu!" ujar Hakim sambil tertawa. Aqila yang baru menyadari akhirnya ikut tertawa atas kebodohannya itu.

"Tapi, apa hubungannya, Bos? jangan bilang Bos akan suruh saya nyanyi atau baca puisi di atas panggung dan menjadi tontonan pengunjung!" Tidak, Aqila tidak akan melakukan itu.

Hakim kembali tertawa. "Kalau kamu berkenan ya boleh aja sih, tapi bukan itu yang mau saya tawarkan,"

"Lalu?"

"Follow me!"

"Bos, saya jarang buka instagram!"

Hakim menepuk jidatnya sendiri. Sejak kejadian kemarin, entah kenapa otak gadis itu menjadi lemot.

"Maksud saya, ikut saya! saya mau describe bagaimana tugas kamu nantinya! biar Yosi aja yang jadi pelayan, nanti Lulu juga akan bantu dia. Kamu dapat tugas lain,"

"Tugasnya jangan yang aneh-aneh ya, Bos! saya baru aja muallaf empat tahun lalu, jangan sampe saya kembali ke masa jahiliyah!"

Hakim tertawa lebar. "Aman, tenang aja."

_____

Dua anak manusia tampak asik mengobrol di sudut restoran. Jarangnya mereka berjumpa membuat obrolan sampai melebar kemana-mana. Setelah mengantarkan Aqila ke ruang kerjanya dan menjelaskan proses kerja, Hakim menuju sebuah restoran untuk makan siang bersama sahabatnya yang tak lain adalah Zulfan.

Salah Terima Khitbah ✔Where stories live. Discover now