10. Jangan Rindu, Tau!

2.9K 355 66
                                    

Seorang gadis tampak resah berdiri di pinggir jalan. Tangannya melambai-lambai untuk menunggu angkutan umum yang akan mengangkutnya pulang. Ia adalah Aqila.

Aqila menyalakan ponselnya, sudah setengah tiga sore saja rupanya. Berarti sudah dua puluh menit dirinya berdiri di sana tetapi belum juga ada angkutan umum yang berhenti.

Sebenarnya, final di kelasnya masih berlangsung, tetapi ia harus pamit karena tadi bu RT menelpon dan memintanya segera pulang. Bagai disambar petir, gadis itu menjawab soal semampunya karena ada hal yang lebih berharga perlu ia jaga. Aqila buru-buru berjalan kaki keluar dari area kampus yang luasnya lumayan itu. Jangan tanyakan motor Aqila, karena gadis itu sudah malas memperbaikinya berkali-kali. Sekarang ia lebih memilih kuliah dengan angkutan umum.

Terdengar suara klakson mobil, Aqila menoleh ke gerbang kampus dibelakangnya. Tampak seorang lelaki menyembulkan kepala dari kaca pintu mobil yang dibuka setengah.

"Nak pulang, ke?"

Gadis itu mengerjapkan matanya ketika menemui sosok Zulfan dari dalam mobil Civic berwarna hitam di sana. Setelah sepersekian detik, gadis itu kembali memfokuskan pandangannya ke jalan yang ramai akan mobil pribadi dan sepeda motor.

Zulfan turun dari mobilnya lalu mendekati Aqila.

"Kenapa ni?" tanya Zulfan panik. Gadis itu tampak sesekali menyeka air matanya.

"Mama saya pingsan. Saya harus pulang,"

"Biar saya hantar. Jom!"

Aqila tidak punya waktu untuk menolak apalagi berdebat dengan Zulfan manakala biasanya. Ini insiden. Di dunia ini cuma Sarah yang dia punya. Ia begitu khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada sang ibu. Aqila sama sekali tidak siap jika harus kehilangan lagi.

_____

"Mama, gimana ceritanya sih sampai pingsan segala? aku khawatir banget, Ma," ujar Aqila sembari memegang tangan sang ibu yang tengah berbaring atas kasur yang tergelar di ruang tengah.

"Mungkin Mama kecapean. Maafin Mama ya, udah bikin kamu khawatir," lirih Sarah. Wajahnya tampak pucat pasi. Tangannya yang bebas nampak menghapus air mata Aqila.

Aqila juga bingung dengan dirinya kenapa bisa sampai sesedih itu padahal ibunya cuma dikabarkan pingsan. Akan tetapi, trauma terhadap kejadian yang menimpa ayahnya seakan kembali.

"Ma, yang penting kita bisa makan sehari-hari aja itu udah cukup buat Qila. Jangan malah menyiksa diri Mama. Mama gak boleh kerja berat,"

"Iya, iya." balasnya.

"Ini siapa, kok nggak dikenalin sama Mama?" tanya Sarah sembari menunjuk Zulfan yang duduk tak jauh dari mereka. Aqila hampir saja lupa dengan orang yang tadi mengantarnya pulang.

"Ini Pak Zulfan, yang waktu itu ngelamar aku,"

"Oh ... jadi ini abangnya Zulfi?"

Zulfan membalas dengan tersenyum ramah dan anggukan kecil.

Sarah meminta Aqila agar membuatkan minuman untuk Zulfan, sehingga pergilah gadis itu ke dapur. Ketika hanya tersisa mereka berdua, Sarah dan Zulfan terdengar berbincang ringan.

"Saya nak minta diri dulu," pamit Zulfan setelah lama mengobrol dengan Sarah. Aqila hanya mengangguk pelan. Jujur, dirinya begitu canggung jika sudah berdekatan dengan lelaki melayu itu.

Sarah mencubit pinggang anak gadisnya karena tak beranjak mengantarkan Zulfan sampai depan.

"Ma, dia udah gede, bisa jalan sendiri." bisik Aqila. Tatapan tajam dari Sarah membuat gadis itu bangkit demi mengantar Zulfan hingga ke teras.

Salah Terima Khitbah ✔Where stories live. Discover now