34. The Death Flower

119 12 0
                                    

Sekelompok orang sedang berdiri mengerumuni makam yang masih basah. Seseorang mungkin baru saja terkubur didalamnya. Saat fenomena seperti itu terjadi ada dua hal yang ada. Yaitu menutup cerita lama dan berganti cerita baru. Akan hilang cerita dimasa hidupnya dan akan menjadi cerita perjalanan baru tanpanya bagi orang yang masih bernapas.

Nancy, Alex,  dua orang pengurus makam, Steve,dan bahkan nenek Clara, Cintya yang tinggal di Aussie berada disana. Memakai kacama mata hitam mungkin pilihan terbaik bagi mereka untuk menutupi kesedihan dan air mata yang tak mau surut. Alex sibuk menenangkan Nancy dipelukannya lalu bercakap-cakap sebentar hingga kemudian Cintya beranjak dikawal masuk mobil.

Entah mengapa Ethan bersembunyi dibalik pohon untuk menyaksikan ini. Memastikan Clara mati atau memastikan bahwa ini hanyalah candaan dialam mimpi. Namun campuran beberapa bunga diatas tanah itu menyisipkan warna hitam yang membuat perasaannya semakin gelap. Dia tak tahu mengapa bisa begitu menyesakkan. Ethan hendak pergi, namun hampir sampai digerbang makam seseorang memanggil namanya membuatnya berhenti.

"Ethan."

Steve sebenarnya tahu Ethan akan datang. Ethan terkejut saat Nancy dan Alex berada dibelakang Steve.

"Ada yang perlu kita bicarakan." Tegas Alex. Tak ada kemarahan dimatanya, hanya ada rasa kecewa, sedih, dan kehilangan yang justru membuat Ethan lebih ingin melarikan diri dari keadaan. Benarkah ini yang dia harapkan.

"Kami merahasiakan kematian Clara. Jika publik tahu dia mati, mereka akan mencari tahu penyebabnya. Kami tak ingin hal ini sampai bocor, Steve sudah mengurus polisi yang dia hubungi tuk menyergap mu. Intinya tak ada yang tahu selain kita." Pernyataan itu membuat Ethan bingung.

"Ini semua permintaan Clara." lanjut Alex. Dia pun menceritakan semuanya.

Flashback:

Malam itu Alex menghampiri Clara. Dia memang menunggu mereka berdua memiliki kesempatan yang tenang hingga dapat berpikir jernih. Sekali lagi Alex ingin membuka pikiran Clara bahwa Ethan bukanlah pria yang baik.

"Dia psikopat, mental buruk, dan penjahat." Ucap Alex, dan disikapi santai oleh putrinya.

"Tapi aku mencintainya Dad."

"Bagaimana jika dia mencelakai mu? Dia pencemburu, bagaimana jika dia kasar dan main tangan?"

"Itu resiko karena kekasih ku orang berbahaya. Punya kekasih pelukis mungkin aku akan dilukisnya. Karena pacar ku pembunuh jadi jika suatu saat aku bahkan dibunuhnya, Daddy jangan melapor polisi atau membalas dendam padanya. Dia hanyalah anak yang tersesat dalam kegelapan. Kasihani dia, karena ketidakmampuannya menanggung derita dia menjadi seperti ini."

Saat itulah Alex sadar bahwa cinta Clara tulus. Bukan hanya menerima apa adanya tapi juga bersedia menanggung resiko tanpa penyesalan.

Flashback end

"Kami sudah memikirkan ini. Tapi Clara juga berhak memilih takdirnya. Tapi aku tidak cukup murah hati tuk mengasihani mu. Namun aku berpikir masa lalu mu rumit dan kau baru saja bertemu ayah kandung mu. Jadi aku melakukan ini atas dasar kemanusiaan saja. Dan lagi putri ku sudah mati, jika dendam dan memenjarakan mu bisa membuat Clara hidup kembali aku tak akan berpikir dua kali." Alex berdiri dihadapan Ethan dan menarik kerahnya.

"Tapi ada satu yang perlu kau ingat. Anak ku sudah tiada, jadi mulai detik ini jangan muncul dihadapan kami. Lupakan kami anggap kau tidak pernah mengalami ini. Karena sulit melihat mu bernapas sedang apa yang kau lakukan pada putri ku." Alex gemetar mengatakannya, untuk pertama kalinya ia membiarkan dunia melihatnya menangis.

Dituntunnya Nancy masuk mobil, kini dihadapan Ethan hanya tersisa Steve. "Bersumpahlah untuk tidak menampakkan wajah mu atau menghubungi kami dalam bentuk apa pun." Ucap Steve.

Lalu kepergian dua mobil membuat suasana menelan Ethan dalam-dalam. Dia berlari ke makam Clara, bunga itu kembali memperjelas ini adalah kenyataan. Tapi setelah apa yang dia lakukan tak membuatnya seperti pemenang. Tak ada puas seperti sebelumnya. Tak ada kebanggaan setelah mengakhiri kelemahannya seperti yang dikatakan Leo. Ethan merasa dia kembali sendiri ditambah orang-orang mengusirnya. Sedari dulu memang tak ada yang mengharapkannya. Ethan tak percaya Tuhan, namun jika benar ad,  dia ingin bertanya mengapa hidupnya seperti ini.

Sekelebat kalimat yang diucapkan Clara didetik-detik terakhirnya kembali berbisik ditelinganya.
'jika ada kehidupan selanjutnya aku tak akan mencintai mu.'

Ethan tersenyum sumbang. Lalu menangis sejadi-jadinya. Ini adalah salahnya.

1 bulan kemudian........

Satu bulan berlalu, waktu mungkin adalah obat mujarab akan semua luka. Ethan memutuskan untuk meneruskan perusahaan daddynya, Grey. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk setidaknya lebih baik. Dia menjadi pecandu kerja, dengan tujuan tak membiarkan otaknya berpikir akan Clara. Dia mencoba membuat pengalihan, namun tidak bisa. Ternyata dia sangat mencintai gadis itu hingga merasa kekasihnya yang ia bunuh itu berjalan dengannya setiap hari.

Berangkat pagi pulang larut, jangan kira Ethan bisa tidur nyenyak. Setiap otaknya istirahat sebentar saja bayang-bayang saat dia menyiksa Clara selalu hadir, Ethan akan minum-minum sampai tak sadarkan diri atau mengkonsumsi obat tidur, begitu seterusnya.

Foto Clara juga menghiasi dinding kamar, tujuannya agar Ethan selalu merasa bersalah. Ia merasa tak pantas hidup setelah kejadian itu. Menjadi lebih acuh pada sosial, dan jarang bicara.

Begitu pula dengan Steve, dia menyibukkan diri dengan bekerja juga. Alex dan Nancy seperti biasa sering keluar negeri untuk bisnisnya.

Kanada, 12.00 P.M

Seorang gadis dengan rambut yang semakin panjang. Diam membisu memperhatikan bayangan dahan-dahan pohon yang bergerak ditiup angin di korden jendela yang berwarna putih. Seakan kegiatannya adalah hal yang mengasyikkan.

"Clara." Suara lembut memanggilnya. Mommy nya dengan gurat keibuan yang selalu bisa menenangkannya datang dengan sang Daddy. Ya mereka sering berkunjung dan rajin memantau kondisinya setiap satu jam sekali jika tak berada dirumah sakit.

Clara tersenyum sedikit. Tulang rusuk patah, dan cidera organ dalam membuatnya tak sadarkan diri dalam seminggu. Tapi butuh satu bulan untuk masalah psikisnya. Beruntung Clara dikelilingi orang-orang yang memberinya semangat dan cinta.

"Maafkan kami, kami harus mengatur waktu dengan baik agar orang-orang tak curiga." Nancy mengelus rambut putrinya.

Steve lah yang mengatur semua ini.

Flashback

Didepan kamar rumah sakit Nancy, Alex, dan Steve tengah gelisah. Clara sedang kritis, hingga satu garis lurus menghentikan harapan mereka.

"Tidak anak ku tidak mati. Coba sekali lagi dok." Nancy bersih keras seperti orang kesurupan. Walau tahu jantung pasien sudah berhenti berdetak dokter mencoba memacunya lagi demi menenangkan seorang ibu yang sedang hancur dihadapannya. Steve dan Alex bahkan tak ada kata tuk mendeskripsikan keadaan kacau mereka. Hingga keajaiban datang mengejutkan semua orang. Clara tersedak ringan seperti kesusahan bernapas. Tabung oksigen pun kembali dipasang dan dokter menanganinya.

Sembari menunggu Steve dan Alex menyusun rencana kedepannya. Memindahkan Clara ke rumah sakit terbaik di Kanada, membuat rencana seakan-akan Clara sudah meninggal agar tetap aman. Bahkan menyuruh nenek Cintya datang agar lebih meyakinkan. Semua telah mereka pikir matang-matang.

Flashback end

"Dad, aku ingin berdandan." Nancy dan Alex bertatapan. Ini kali pertama Clara mengucapkan sebuah kalimat setelah peristiwa yang dialaminya.

Clara mengoleskan eyeshadow, dan lipstik tipis-tipis. Ini membuatnya tampak hidup bukan seperti mayat hidup lagi.

Pintu terbuka, Steve datang dan membulatkan matanya. Bukan lagi Clara dengan muka pucat, menangis, seperti orang dengan beban pikiran akut. Tapi kali ini Clara yang sudah bisa pindah posisi dari sudut kamar. Sedikit demi sedikit Clara kembali membaik.

"Kau tampak lebih cantik Clara." Walau tetap dengan baju pasien, Clara seperti itu sudah membuat mereka senang.

#Tbc

Wanna Die (Complete)✓Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα