6. Difficult Part

376 90 11
                                    

Mike berjalan mondar mandir diruang tunggu, hidangan yang tersaji di depannya tak ia sentuh sama sekali. Hidupnya porak poranda dan tak tenang beberapa hari ini. Bagaimana bisa cinta masa kecilnya mengalami nasib sedemikian buruk. Diculik tanpa jejak? Hilang ditelan bumi? Agh,, setelah insiden itu rasanya tak ada waktu tanpa frustasi.

Drrtttt...
Getaran disaku celananya menghentikan gerakan kakinya yang kesana kemari. "Rose bagaimana?"

Orang diseberang sana tak langsung menjawab, helaan terdengar beberapa saat setelahnya.
"Nihil, semuanya sama saja. Aku sudah mencari dan menanyakan ke warga sekitar tapi hasilnya nol besar."

"Tak apa, kau sudah berusaha." Kekecewaan yang Mike rasakan bertambah. Bahkan cinta itu masih ada, selalu ada, dan Mike selalu berdoa agar Tuhan memberinya kesempatan untuk mewujudkan cinta itu menjadi nyata.

Pintu terbuka menampilkan seseorang yang sedari ia tunggu. Alex, ayah Clara. Berjalan cepat dengan raut wajah serius.

"Uncle, apa belum ada perkembangan?"

Alex duduk dikursi putarnya, menutupi separuh mukanya dengan telapak tangannya sudah cukup menunjukkan apa jawabannya tanpa harus diutarakan.

"It's not impossible. Bagaimana mungkin agen FBI, detektif, bahkan polisi semuanya dikerahkan tapi tak ada yang bisa melacak keberadaan Clara. Kecuali Clara dibawa oleh makhluk halus."

"Bagaimana ini? Jika seandainya terjadi sesuatu padanya. Kita tidak tahu apa Clara masih hidup atau tidak, ia terluka, atau mungkin sedang kelaparan. Ya Tuhan aku tidak tahan lagi."

Alex memijat keningnya yang berdenyut mendengar Mike berceloteh dengan berbagai asumsi-asumsinya.
"Bisakah kau pergi?"

"Apa? Uncle menyuruh ku pergi?" Mike bertanya untuk memastikan pendengarannya.

"Aku sedang tidak ingin diganggu." Tegas Alex.

"Aku bersumpah jika si pelaku telah ditemukan aku tak akan mengampuninya. Peluru ku akan menembus kepalanya." Setelah mengucapkan sumpah serapahnya Mike berbalik badan dan meninggalkan ruangan.

*

Tirai berterbangan diterpa angin. Lampu sengaja ia matikan. Gelap, sama seperti hidupnya sekarang, gelap. Dan ia akan membiasakan diri dengan kegelapan. Air mata mengalir kemudian terjatuh dari ujung matanya, ia seperti mayat hidup hanya dadanya yang naik turun pertanda ia masih bernafas. Tapi masih ada secercah temaramnya rembulan, satu-satunya lentera yang masuk dari cela-cela jendela. Akankah hidupnya masih ada kesempatan untuk normal?

Terang, kini ia benci terang. Sialnya lampu dihidupkan membuatnya terperanjat bangun. Tolong, jangan perlihatkan Clara apapun.

Ethan merambat naik ke atas kasur mendekatinya.

"Tidaakkkk, jangan mendekat. Pergi.. Per..rr..gi.."

Clara menjadi histeris, ia tak tahu apa diluar adalah hutan, pedesaan, atau apa. Syukur-syukur ada yang mendengar jeritannya ditengah malam.

"Lepaskan aku brengsek. Seharusnya kau yang mati, pergi jangan ganggu aku."

"Ku mohon pergi.." Mohon Clara dengan suara serak, percayalah ia terlalu lelah baik fisik atau pun batin.

Baru saja Ethan mengangkat tangannya Clara kembali histeris.

"Aaaaaaaa." Teriaknya seperti melihat sesuatu yang amat teramat menakutkan dan Ethan benci itu.

Baginya darah adalah biasa, membunuh adalah kebiasaan, melihat orang meregang nyawa terlalu sering ia lihat dan bahkan menjadi tontonan gratis untuk hiburannya. Tapi ia berusaha mengerti akan gadis itu, kejadian tadi pagi mungkin akan tertanam jelas diotaknya.

Wanna Die (Complete)✓Where stories live. Discover now