33. Wanna die?

124 14 0
                                    

Brukk...

Agh....

Entah diluar siang atau malam Clara tak tahu. Yang jelas waktu terasa sangat panjang. Waktu yang dilaluinya bersama Ethan semakin lama semakin mencekik dan membuatnya tersiksa. Bukan seperti dulu saat dia diculik Clara melihat Ethan membantai orang lain tapi kali ini dirinya lah yang dilukai Ethan. Clara tidak pernah membayangkan dan memimpikan hal ini terjadi bahkan tidak untuk mimpi buruknya.

Bajunya sobek, terkoyak dari pundak sampai leher belakang. Dia tak berhenti mimisan karena tinjuan Ethan dihidungnya.

Sayatan dilengan, tendangan diperut, tamparan, dan pukulan itu menyadarkan Clara sepertinya ia tak akan selamat. Apakah selalu begini dicintai dan mencintai seorang psikopat? Bahkan dirinya sekarang ragu. Benarkan Ethan mencintainya? Dan dia tak percaya dirinya sempat mencintai pria itu. Menjadikannya pacar pertama dan berfikir menerima apa pun kekurangan beserta sifat buruknya. Ide gilanya lah yang membawanya pada keadaan ini.

"Kenapa Clara? Apa yang kau pikirkan? Haruskah aku memberikan sakit sehingga sakit itu tak akan bisa membuat mu berpikir lagi."

Plash...

Plashh...

Cambukan itu mengenai punggung Clara, dia mengeratkan pegangannya pada ujung meja. Bersandar disana sambil menggigit bibir, namun teriakan pilu yang selalu ia keluarkan. Ethan menjadi tuli dan bahkan sengaja membutakan diri. Itu sebabnya Ethan menyambuk Clara dengan posisi gadis itu membelakanginya. Ia tak akan setengah-setengah melakukannya. Ia muak pada hidupnya, pada orang-orang di muka bumi ini, pada takdir, juga pada apa pun. Setelah melakukan sejauh ini dia bahkan tidak mengeluarkan air mata, atau pun ekspresi iba. Namun ia tidak ingin melihat wajah yang dicintainya kesakitan. Ethan takut, takut dirinya akan goyah kembali. Ia muak karena selalu bingung akan jalan hidupnya.

Tak kuat menanggung cambukan yang mungkin sudah berjumlah puluhan itu Clara terkapar ke lantai. Menambahi darah kering sebelumnya dengan darahnya lagi. Tak puas, Ethan menendangnya, menginjaknya seakan dengan begitu dia bisa meremukkan tulang-tulang Clara.

"Hufft..." Ethan mengusap keringat dikeningnya. Lalu menyeret kursi dibelakangnya untuk duduk sambil memperhatikan wajah Clara yang tak terbentuk. Terbiasa dengan wajah ceria dan cantik alaminya kini Ethan melihat lebam, luka, sayatan, dan darah diwajah gadisnya.

"Wanna die?"

Dua kata itu membuat merinding, mungkin pria itu sudah bosan dan saatnya menuju kematian.

"Aku pikir-pikir seharusnya aku membenci cinta. Sejak dulu aku tidak tumbuh dengan kasih sayang. Aku berusaha sendiri untuk bertahan. Aku membunuh, melukai orang, mematahkan tangannya barulah mereka tak membully ku. Dan siapa kau? Bagaimana bisa seorang gadis membuat ku lemah? Membuat ku berubah secepat itu tanpa tahu rasanya menjadi diri ku selama berpuluh-puluh tahun? Apa sakit ku akan terobati karena cinta? Apa cinta bisa menebus luka ku? Aku tidak akan pernah bahagia, tapi setidaknya di dunia gelap ku memberikan kesenangan."

Ethan menatap Clara tajam. "So... Wanna die?" Ethan menaikkan alisnya, bertanya dengan aksen menggoda. Diluar dugaan, Clara justru menyunggingkan senyuman. Sebuah senyum yang membuat Ethan merasa dikasihani.

"Shit,, sialan kau." Dengan kalap Ethan meraih pisaunya, mencengkram Clara hingga berdiri lalu menghimpitnya ke dinding, sedang pisau itu telah bersarang diperut Clara. Kedua mata mereka memandang, seakan mengingat apa yang perlu diingat di hari kelam bersejarah ini.

"Jika ada..a ke..hidu..pan selan..jutnya aku tak..akan mencintai.. mu..u."

Clara menggenggam tangan Ethan untuk mendorong pisau itu lebih dalam menusuknya. Ethan membulatkan mata, lalu menjauh dari Clara. Dirinya mundur beberapa langkah dengan pikiran kacau. Clara tahu tusukan itu terasa aneh karena Ethan tak benar-benar mengeluarkan seluruh kekuatannya.

"Apa kau senang? Apa ini menyenanglan? Setidaknya di akhir hayat ku, aku memberi mu kesenangan. Jadi jangan pernah ragu."

Clara berbatuk darah, hampir semua tubuhnya berwarna merah. "Yes, l wanne die. Kau akan mendapat kematian ku seperti yang kau ingin. Setelah ini jangan pernah lemah lagi karena wanita." Tangan Clara terkulai, lalu tak sadarkan diri. Mata Ethan menangkap ponsel Clara yang terjatuh setelah Clara kehilangan kesadaran, ponsel itu masih menyala. Ethan mengambilnya dan terkejut membaca pesan Clara pada Steve.

"Digedung Tua dekat pembangunan kontruksi Greman no XXI, Ethan akan membunuh ku." Tak ada balasan dari Steve tapi banyak panggilan darinya. Setelah itu terdengar sirine polisi. Dilihatnya dari jendela Steve berlari bersama polisi menuju tempatnya. Tak ada waktu lagi Ethan segera melarikan diri, beruntung ada jalan rahasia untuk keluar. Sebenarnya saat dicambuk Clara berusaha mengetik pesan sambil menahan rasa sakit.

"Clara... Clara...Cla-" suara Steve tercekat begitu melihat tubuh gadis yang sejak tadi dikhawatirkannya terbujur kaku serta membiru seperti mayat.

"Tidakkk, Clara cepat bangun." Steve menggendong Clara.

"Cepat ke rumah sakit."



*

Ethan kembali kerumah pribadinya dengan kecepatan tinggi mengendarai mobilnya. Dia berlari ke arah kamar, duduk menekuk lutut dan menyembunyikan kepalanya. Terpejam sesaat untuk menenangkan diri. Setelah sepuluh menit matanya kembali terbuka, yang pertama kali dia lihat adalah darah ditangannya. Benarkah? Rasanya pikirannya lumpuh. Namun secarik kertas berwarna pink menyita perhatiannya, pasalnya Ethan tak pernah meletakkan surat seperti itu diantara foonya dan foto Clara yang ia kumpulkan dan tersebar hampir memenuhi dinding.

Perlahan dia berdiri, dan membaca selembaran itu. "Kau kemana saja huh? Aku mencari mu kesana kemari sampai aku bosan. Kau tak tahu aku ingin memberikan kado diulang tahun mu, aku letakkan di laci ya. Selamat ulang tahun Sayang."

Setelah membaca surat itu entah apa yang Ethan rasakan. Ditariknya laci tersebut dan menemukan sebuah kotak, pelan dia membukanya. Jam tangan mahal tapi membuat Ethan ketakutan hingga meletakkan  jam itu segera. Didalamnya juga ada secarik kertas kecil. 'Aku tak tahu kau merayakan ulang tahun pertama mu dengan siapa. Namun ku berharap kado ku kali ini adalah yang benar-benar kau inginkan. My Lovely'

Ethan menutup telinganya, seperti mendengar bisikan yang membuatnya semakin tak tenang.

Ponsel Ethan berdering, nama Steve tertera dilayar. Tapi Ethan menggeser tombol hijau mengangkat video call tersebut. Mulanya terdengar suara isakan, ya Steve menangis.

"Ethan, Clara sudah meninggal. Dia kehabisan banyak darah. Dia sangat mencintai mu dan mungkin kau ingin melihatnya untuk yang terakhir."

Pertama wajah pucat Clara yang dizoom lalu penampilkan suster dan dokter yang menutup wajah Clara dengan selimut dan membawanya ke ruang mayat.

Ethan menyeringai. " Untuk apa kau perlu menunjukkan semua itu pada ku. Aku tidak perduli, juga dia tidak benar-benar mengkhawatirkan ku."

Steve tak bawa emosi, jiwanya terlanjur berkabung dan sedih. "Itu semua karena aku. Dia sebenarnya sangat mengkhawatirkan mu. Tapi aku berbohong padanya berkata bahwa kita pernah bertemu dan kau berkata pada ku kau sedang ada urusan pribadi yang penting. Aku meyakinkannya untuk tak khawatir, dan dia percaya."

"Salahkan diri mu. Semua itu tak-"

Steve memotong omongan Ethan. "Ya aku memang merasa bersalah karena tidak bisa melindunginya dari pria bejat seperti mu. Seharusnya aku merebutnya sedari awal, Clara hanya buta dan tak sadar seperti apa kau sebenarnya. Bahkan mungkin di alam sana Clara akan mempertanyakan mengapa dia mati seperti ini."

Ethan membanting ponselnya, menjambak rambutnya tak kalah frustasi dari Steve. Sial, air mata yang ditekadkan untuk tak keluar justru mengalir deras. Tak tahu pertanda apa itu dan maksudnya. Ethan berteriak keras untuk mengakhiri malamnya. Dia tidak akan menyesal karena besok dia akan baik-baik saja seperti semula sebelum mengenal Clara. Dia akan hidup seperti yang dulu.


#TBC

Wanna Die (Complete)✓Where stories live. Discover now