page 02

1.1K 110 14
                                    

"Lee Jeno"
Si pemuda pemilik nama pun maju untuk mengambil hasil ujiannya, tercengang melihat hasilnya.
Dia, baru saja turun ke peringkat dua.
Jeno meremat kertas nilainya, pandangannya menaruh dendam pada seluruh murid di kelas. Siapa yang berani membuat peringkatnya turun seperti ini.
"Sekian untuk hari ini, tetap belajar dan pertahankan prestasi kalian ya"

Begitu guru keluar Jeno menggebrak meja hingga semuanya menoleh, tersenyum manis sembari menatap setiap orang nya. "Aku ingin bertanya dengan baik-baik, siapa yang mendapat posisi pertama?"

"Aku tanya sekali lagi, siapa yang mendapat posisi pertama?!"
Jeno menatap Renjun yang tengah membereskan barang-barangnya, hendak keluar dari kelas. "Huang Renjun!!"

"Tidak..aku peringkat empat"ucapnya santai lalu keluar dari kelas begitu saja. Jaemin menghampiri Jeno dan merangkul temannya itu, "Renjun membuat ku curiga-"

"-Atau jangan-jangan dia yang mengambil posisimu, Lee Jeno"

***

"Huang Renjun!!"Jeno melemparkan tasnya hingga Renjun hampir terjatuh, mendorong tubuhnya kasar dengan tatapan dendam. "Kau..kau yang mengambil posisiku. Aku tau itu"

"Sudah aku bilang aku di peringkat empat!"
Jeno menolak ucapan itu mentah-mentah, merebut tas Renjun untuk mencari kertas nilainya. Nafasnya memburu begitu melihat peringkat Renjun,

Empat. Dia tidak mengambil posisinya.

"Lee Jeno, sebelum mencurigai orang lain. Curigai orang yang dekat denganmu dulu. Biasakan tidak mengganggu privasi orang"
Renjun merebut barang-barangnya dan pergi begitu saja memasuki lift. Sementara Jaemin berjalan santai setelah menyaksikan pertengkaran itu, "aku jadi penasaran..siapa yang merebut posisimu"

Jaemin tersenyum kala Jeno menatapnya, berjalan menuju lift lalu berbalik. Tangannya terangkat memperlihatkan selembar kertas, "selamat..kau kalah sekarang"
Pria itu masuk ke lift sembari tersenyum pada Jeno, tersenyum meremehkan temannya itu.

"Choi Jaemin sialan!!!"

***

Jaemin tersenyum puas melihat hasil ujiannya, terhibur dengan Jeno yang marah tadi. "Menyenangkan.."

"Kamu habis mengganggu teman mu lagi?"
Jaemin berbalik, tersenyum menatap Yoona yang tengah berdiri dan melipat tangannya. "Ah..hanya bercanda"

"Mama mendengarnya. Kamu tau sendiri Jeno itu seperti apa jika sudah ada yang mengalahkannya, seharusnya kamu tidak macam-macam dengannya"

"Oh ayolah...dia masih dibawah kita. Mana berani dia macam-macam dengan papa, itu mustahil. Anak seperti dia hanya sok-sokan saja"

"Jaemin, mama tidak suka sikapmu ya"

"Mimi tidik siki sikipmi yi..ini urusanku. Tidak usah ikut campur, apa aku pernah melibatkan mama? Tidak kan? Kenapa sibuk sekali sih"
Yoona memijat pelipisnya, ia bingung sendiri kenapa Jaemin bisa berbanding terbalik dengannya. Padahal ia selalu mendidiknya dengan baik, mengajarkan agar menjaga sikap pada orang.
"Jaga kata-kata mu, Choi Jaemin. Mama tidak mengajarkan mu seperti itu!"

"Sudah? Sudah bicaranya. Silahkan keluar, aku mau istirahat"
Yoona menghela nafasnya dan keluar dari kamar anaknya. Padahal ia ingin memberi kabar baik jika Siwon akan pulang malam ini.
Sementara Choi Jaemin sendiri sudah tersenyum kecil sembari mengetukkan pulpen pada meja belajarnya, "ah.. sepertinya benar juga. Anak itu terlalu berambisi menjadi yang terbaik"

Tangannya kembali menulis kalimat demi kalimat di buku tulisnya, bisa saja ia menyuruh orang lain mengerjakannya padahal. "Hanya permainan kecil saja sudah membuatnya seperti itu. Apalagi kalau lebih besar lagi, wah.. anak itu pasti gila nanti"

***

"Sudah ayah bilang berapa kali hah?! Kalahkan mereka!! Kau membuat ayah malu!"
Renjun masih diam berdiri di tempatnya, merasakan panas di pipinya setelah tamparan sang ayah menyambutnya, ini karena ayahnya yang melihat kertas nilainya tadi.
"Kau membuat ayah malu Huang Renjun. Jangan karena mereka lebih unggul kau memilih tetap diposisi mu, kau kira ayah suka?!"

"Tidak.. aku tau itu. Ayah tidak pernah suka dengan apapun milikku, hasil ujian yang bahkan bagus bagi ayah masih kurang. Ayah juga selalu memaksa Chenle untuk jadi yang terbaik, ayah kira ayah juga lebih baik dari ayahnya Jaemin?!"

Plakkk..

Chenle membekap mulutnya melihat Henry kembali menampar kakaknya. Kenapa juga kakaknya begitu berani melawan Henry yang bahkan tak segan menamparnya.
"Lihat? Ayah hanya bisa melakukan ini. Ayah tidak bisa membuktikan jika ayah lebih hebat dari ayahnya Jeno, ayahnya Jaemin. Jangan-jangan sekarang ayah bergantung pada tuan Choi Siwon? Memangnya apa sih yang bisa diharapkan dari dia? Anaknya saja sudah sialan seperti itu"

"Jaga bicaramu Huang Renjun. Perhatikan siapa yang bicara denganmu sekarang"

"Seseorang yang dengan bodohnya tunduk pada seorang ayah dari anak yang bahkan sikapnya tak beretika"

"Ayah!!"Chenle menghentikan Henry yang hendak memukul Renjun, lagi.
"Aku mohon jangan pukul kakak lagi, kasihan kakak"

"Lepas, Huang Chenle."

"Tidak, berjanjilah tidak memukul kakak"
Henry mendorong Chenle hingga jatuh terduduk yang tentu saja mengundang amarah Renjun. "Kau gila?!"

Henry tertawa melihat anaknya berkata seperti itu, tak segan kembali menampar pipinya lagi dan lagi. "Kau kira aku takut dengan ucapanmu?"
Chenle menatap nanar Renjun dengan sudut bibirnya yang sudah berdarah. Henry juga keluar begitu saja setelah mengambil kunci mobil dan jaketnya.

"Ada yang sakit? Kalau sakit kamu harus cepat minum obat, le"

"Aku baik-baik saja. Kakak yang tidak baik-baik saja sekarang, kenapa kakak tidak menitipkan kertas nilainya padaku sih?! Kakak memang ingin dipukul ayah?!"

"Chenle, Kakak tidak mau kamu sakit lagi, cukup saat itu jangan lagi."
Renjun menarik tangan Chenle untuk berdiri, mengabaikan luka di bibirnya. Bahkan pipinya memerah sekarang, Chenle bisa melihatnya dengan jelas.
"Bunda mana?"

"Gak tau..aku pulang tadi cuma ada ayah."
Renjun mengangguk, mendorong Chenle agar masuk ke kamar dan beristirahat.

Entah dia yang tidak mampu atau ayahnya yang gila atas nilai dan hormat sampai-sampai menjadikan Renjun sebagai alat untuk ajang pamer saat pertemuan dengan anggota khusus yang tinggal disini. Nasib baik bukan Chenle yang ada di posisinya. Henry terlalu mementingkan kehormatan di tempar tinggalnya ini sampai tidak sadar anaknya sendiri jadi bahan untuk dipamerkan.

{}

Kayaknya bakal lumayan banyak kekerasan fisik kayak gitu sih.
Gila.. genrenya kok gak main-main gini.

Power of AttorneyWhere stories live. Discover now