Page 23

146 21 3
                                    

Renjun tau jika Jaemin dan Jeno sedikit lebih akur kemarin-kemarin. Apalagi setelah mengalami hal yang sama, ia yakin keduanya pasti sedikit dekat sekarang. Haechan juga berpikir begitu. Mereka berdua sejak tadi diam memperhatikan Jeno yang diam sambil membawa buku.

DUK

Suara yang berasal dari meja Jeno menarik perhatian kelas. Jeno hanya bisa menatap sepatu seseorang yang sudah menendang mejanya sebelumnya. Kepalanya terangkat, menatap siswa yang menatapnya dengan tas yang hanya bergelantung di sebelah bahu saja. "Minggir."

"J-jaemin.."

Jaemin mencebik. Tangannya menarik lengan seragam Jeno hingga Jeno bangkit dari temat duduknya. Jaemin juga melemparkan barang-barang Jeno ke arah belakang kelas. "Sampah seperti mu itu tidak layak duduk disini. Dasar parasit."

Renjun dan Haechan saling bertukar pandang, mencoba bertukar pikiran. Mereka sama-sama terkejut melihat Jaemin hari ini. Padahal merek atau Jaemin sempat dekat dengan Jeno begitupun sebaliknya. Ditambah Jeno yang kini hanya menurut, tidak melawan seperti biasanya.

"Kau merasa aneh?" bisik Haechan pada Renjun. Renjun tidak menjawab. Dia memilih memperhatikan Jeno yang kini duduk di bangku paling belakang dalam diam. Tak ada omelan, makian atau perlawanan dari Jeno untuk Jaemin.

Jam pelajaran berjalan seperti biasa. Dengan kondisi anak-anak yang terlihat tidak niat mendengarkan penjelasan sang guru didepan. Mereka hanya mencatat beberapa saja. Berbeda dengan Jaemin yang sejak tadi diam, dia terlihat sangat aneh hari ini. Cara dia datang dan memperlakukan Jeno meninggalkan tanda tanya besar dikelas. Siswa-siswi bersorak saat bel sekolah berbunyi menandakan waktunya istirahat, menghentikan sang guru ditengah-tengah penjelasannya. Jaemin bangkit dari kursinya dan menuju ke belakang.
Kakinya dengan mudah ia angkat dan ditaruh diatas paha Jeno yang masih duduk di kursi. "Kau tidak keberatan untuk mengikat tali sepatu ku kan?"

"Jaemin-"

"Tidak usah ikut campur." Jaemin berbicara pada Renjun dengan nada ketus. Dia masih asik memandangi Jeno yang terlihat tidak terima. Dilihatnya tangan Jeno yang pelan-pelan mengepal. "Jangan harap aku mengasihani mu, anak malang. Aku tau semua sekarang, dosamu sama banyaknya dengan ayah mu. Ayolah, realistis saja. Bukan kah seharusnya kamu mencium kaki ku sambil meminta maaf?"

"Sialan."

Jeno berdiri dan mencengkeram kerah seragam Jaemin. Dia terlihat marah sekarang. Namun Jaemin menatapnya dengan tatapan yang menyebalkan, mampu memancing emosi Jeno dengan cepat. "Apa? Kau pikir aku takut? Sejak dulu juga aku tidak pernah percaya dengan wajah sok polos mu itu."

Jaemin mendekatkan wajahnya ke telinga Jeno. Ia membisikkan sesuatu sembari tersenyum.
"Tunduk atau kau akan melihat tatapan menjijikan semua orang jika mereka tau ayahmu menggoda wanita yang sudah bertunangan."

***

"Kau belum pulang?"

Kepala Renjun terangkat. Ia melihat Haechan yang tengah memakan es krim berdiri didepannya sambil menyodorkan es krim yang serupa padanya. "Kau juga belum pulang."

"Hehe"

Haechan ikut duduk di sebelah Renjun. Kini mereka berdua sama-sama memandangi ke arah lapangan. Mereka bisa melihat Jeno yang tengah membersihkan bajunya yang kotor . Itu masih ulah orang yang sama, Jaemin mengajak Jeno untuk melakukan sedikit permainan yang ternyata melibatkan baku hantam. Renjun melihatnya dari awal, saat dua orang siswa yang patuh pada Jaemin mulai menyerang Jeno. Jaemin hanya menonton sembari meminum sekaleng soda. Sesekali juga ia membasahi ketiga orang itu dengan soda dari dalam kaleng.

"Aku tidak akan pernah bisa mendekati dua orang itu."

"Kenapa?"

"Sifatnya tidak bisa ku baca. Kadang baik, kadang seperti sekarang. Aku kesal lama-lama karena diomeli, katanya aku tidak bisa mencari teman yang lebih baik. Aku duduk disini bersamamu juga rahasia, orang tua ku tidak akan suka."

"Kenapa? Kita tinggal di bangunan yang sama kan?"

"Orang tua ku bilang kalau ayahmu itu penjahat. Harusnya ayahmu sudah dipenjara sekarang. Katanya sifat dia pasti menurun padamu." 

Haechan yang baru sadar dengan ucapannya langsung menutup mulutnya. Ia tengok Renjun perlahan yang kini diam dan masih melihat ke arah lapangan. "Maaf... Aku tidak bermaksud-"

"Tak apa. Aku biasa saja mendengarnya. Info diterima, akan aku coba cari kebenarannya. Bukan hanya orang tua mu yang tidak suka pada ayah ku, Chan. Aku juga membencinya."

Haechan hanya mengangguk paham. Kini keduanya diam menikmati es krim sambil melihat Jeno yang berjalan menjauh menuju gerbang sekolah. Diam-diam Renjun memikirkan sesuatu. Dia belum pernah mencoba ikut campur dengan Jaemin dan Jeno. Dia selalu mundur karena Jaemin sering mengancamnya untuk tidak ikut campur dengan membawa-bawa Chenle dan jabatan ayahnya.
Menyebalkan. Renjun seperti terbuang karena sikap kedua orang itu. Haechan juga baru-baru sekarang mendekatinya. Sebelumnya dia hanya menempel pada Jaemin dan Jeno, meninggalkan Renjun dibelakang sendirian.

"Mau kemana?"

"Pulang. Kau mau menginap di sekolah?"

Haechan menunjukkan giginya, tersenyum lebar pada Renjun. Dia ikut berdiri sambil menghabiskan es krim miliknya. "Aku lapar. Temani aku, aku traktir malatang. Bagaimana?"

***

"Jaemin! Aku ingin bicara padamu."

Tangan Jeno reflek menarik lengan Jaemin agar berhenti berjalan. Hal itu membuat Jaemin menepisnya dengan kasar lalu menatap Jeno kesal.  "Apa sih? Aku tidak punya waktu berbicara dengan mu."

"Kau ini kenapa tiba-tiba begini? Aku sudah berdamai dengan dirimu karena ayah ku lalu kau tiba-tiba menginjakku seperti ini. Kau memanfaatkan keadaan? Kau sengaja membuatku di posisi ini supaya lebih mudah merendahkan ku?"

"Apa? Merendahkan? Bukannya posisi mu sudah rendah sejak awal?"

"Jaemin, kita ini-"

"Apa? Mau bilang kita saudara? Persetan dengan mu. Aku tidak sudi memiliki saudara seperti mu. Apalagi punya ayah bajingan seperti ayahmu. Menggoda tunangan orang lain seakan tidak laku."

Jeno diam. Ia menahan amarahnya kali ini. Tangannya meremat ujung jaketnya. Kata-kata Jaemin berhasil memberi serangan dengan cepat dan tak terhentikan.
"Sejak awal juga aku tidak pernah ingin hidup di sekitar mu. Kau ini hanya menghalangi pandangan saja. Kalau kau ingin tau, memang benar kemarin aku sempat baik padamu. Aku juga sadar kalau kamu ternyata diperlakukan seperti itu oleh pria tua tidak bermoral yang ada dirumah mu. Tapi ucapan ayah mu itu benar-benar diluar dugaanku.
Kamu tidak akan pernah mengerti Jeno. Lahir dari kesalahan dan hidup seakan-akan sebagai anak ayah ku yang sekarang. Aku bersyukur sejak dulu aku tidak mengetahui hal ini. Aku kira aku tidak akan mendengar hal menjijikan ini."

Tangan Jeno yang semula meremat jaketnya kini perlahan mulai melemas. Dia menyaksikan sendiri Jaemin yang penuh amarah namun malah menangis dihadapannya.
"Berhenti seolah-olah menjadi yang paling sakit. Aku muak melihatmu. Ingat ancamanku itu. Kamu harus patuh jika tidak ingin hal itu tersebar."

"Kalau kau menyebarkannya bukannya namamu ikut jelek?"

Jaemin kembali berhenti melangkah. Dia mencebik kesal. Tangannya gatal sekali ingin memukul Jeno sekarang. "Tidak. Aku tidak akan memberi tau jika aku bagian dari cerita mengerikan ini. Sadarlah Jeno, aku bisa membuatmu jatuh sejauh-jauhnya kebawah dengan mudah. Semua kesalahan ayahmu itu, aku simpan baik-baik. Aku bisa menujukkan itu suatu saat nanti. Sekarang, jauh-jauh dariku sialan."

{}

Hai hai hai

Power of AttorneyWhere stories live. Discover now