Page 20

207 14 3
                                    

"Kenapa belum makan? Dua hari ini kamu belum makan loh. Terakhir hanya minum air putih kan?"
Jaemin menatap Donghae sinis. Perutnya bahkan tidak lapar sedikitpun setelah menginjakkan kaki ke tempat menjijikan ini. Diam-diam Jeno melirik Jaemin, terlihat pipinya yang memerah. Semalam dia mendengar Jaemin berteriak saat Donghae mengantarkan makanan ke kamarnya. "Jaemin."

Donghae sudah berucap dengan nada yang cukup tegas. Jeno masih terus melanjutkan makannya begitupun dengan Tiffany. "Aku harus kerja kelompok. Jaemin satu kelompok denganku." Jeno berucap cepat saat Donghae hendak berdiri dari kursinya.

"Di kafe. ujung jalan sebelum persimpangan pertama. Aku akan mengerjakan tugas disana, ada Chenle dan Renjun juga."

"Baiklah... Ganti baju mu sana." Jeno menatap Jaemin, memberi sinyal untuk segera berganti baju. Diam-diam Tiffany juga mengetik sesuatu diponselnya. Mengirimkannya pada seseorang lalu kembali melanjutkan makannya. "Anak sialan itu kembali buang-buang makanan. Tidak tau diri."

***

Jaemin masih diam bahkan setelah turun dari motor. Jeno sengaja memesan banyak makanan untuk Jaemin, makan berdua di kafe dan jauh dari pantauan Donghae. "Jangan sok kuat. Aku punya hutang padamu, makan."

"Aku keluar sebentar." Jeno beranjak dari kursinya. Bersandar di dinding luar kafe sambil menyalakan rokoknya. Dia mengintip, Jaemin sudah makan dengan lahap. Dia merasa punya hutang karena Jaemin dan ayahnya lah yang telah menyelamatkannya dari amukan Donghae. Walaupun kini keduanya sama-sama dineraka. "Jeno." Jeno mengangkat kepalanya, menatap Yoona yang turun dari taksi.

"Ada di dalam. Jangan lama-lama ya? Jam 8 harus sudah pulang soalnya." Yoona mengangguk sambil tersenyum lalu bergegas masuk. Jeno mengulum bibir bawahnya menatap Jaemin yang menangis saat Yoona datang. Dadanya terasa sesak. Dia masih memperhatikan Jaemin dari luar. "Aku tau kamu berbohong, Jeno."

Jeno berbalik cepat dan mendapati Donghae sudah dibelakangnya. Tangan ayahnya langsung mendarat di leher Jeno, mencekiknya sedikit kuat dan mendorongnya ke tembok. "Kamu tau Papa tidak menyukai anak yang suka berbohong kan?"

Perkiraannya benar-benar salah. Dia kira Donghae tidak akan datang sampai sini, padahal lokasi yang ia beritahu sudah jauh berbeda. Entahlah, Jeno berpasrah diri. Dia sudah membangunkan singa buas didalam Donghae. "Sejak kapan kamu merokok?"

Jeno menjerit dalam hati saat Donghae menempelkan rokok yang masih panas itu ke punggung tangannya. "Urusanmu belum selesai ya, ingat."

***

Pintu ruangan didepannya terbuka dengan cukup keras. Jeno masih mematung berdiri didepan ruangan itu, menatap seseorang setelah Donghae keluar dari sana. "Ah.. jadi begini rasanya menghajar anak Siwon."

Jeno diam, menatap Jaemin yang merintih memegangi perutnya. Wajahnya sudah penuh luka, bahkan Jeno melihat tangan Jaemin yang penuh darah saat mengusap bibirnya. "Papa-"

Tubuh Jeno terpelanting saat Donghae melepas satu pukulan tepat pada rahangnya. Donghae terlihat memutar-mutar pergelangan tangannya sambil mendekat pada Jeno. "Kamu juga kaki tangannya kan? Anak Papa yang satu ini sudah mulai berbohong ya pada Papa?"
Jeno mengangkat kepalanya, menatap Donghae yang tersenyum penuh kesenangan. "Kamu udah lama ya gak latihan sama Papa? Harusnya akhir minggu ini kita pergi gak sih buat latihan?"

Jaemin masih bersandar pada kursi, memegangi perutnya yang cukup nyeri karena diberi beberapa pukulan. Dia ingat sekali saat Donghae tiba-tiba datang dan menyeretnya meninggalkan Yoona. "Bajingan."
Jaemin berdiri, berjalan pelan keluar melihat Donghae yang seolah menjadikan Jeno samsak. Jeno dipaksa berdiri menahan semua tinju Donghae. Dia tau sekarang. Betapa kejinya Donghae yang diberikan keluarga. Dia paham kenapa Jeno semarah itu saat Jaemin mengambil alih peringkatnya. Masa bodoh malam ini, Jaemin lebih ingin menghajar Donghae sekuat tenaga.

***

Jeno bersandar pada kursi belajarnya. Sedikit nyeri untuk menggerakkan badannya malam ini. Tatapannya mengarah pada Jaemin yang berbaring di kasurnya. Ia yakin kondisinya lebih parah dari Jeno. Tangannya masih memegang ponsel, menampilkan satu kontak yang hendak ditelponnya. Jarinya menekan layar ponselnya tanpa ragu, mengarahkannya pada telinga. 

"Halo, ada apa Jeno?"

"Paman.... Tolong bawa Jaemin.... Aku mohon."

Dia mendengar suara Jeno bergetar. Entah kenapa jantungnya kini berpacu lebih cepat dari sebelumnya. "Cepat Paman.... Jaemin harus ke rumah sakit."

"Jaemin dipukul. Gak cuma sekali... Jaemin pingsan sekarang. Aku mohon bawa dia."

 Siwon tidak mematikan panggilan itu, dia tetap mengajak Jeno berbicara sambil mengambil mantelnya dan menyuruh beberapa bawahannya untuk ikut. Siwon juga menyuruh salah satu bawahannya untuk segera menyiapkan mobil. Amarahnnya sudah benar-benar dipuncak sekarang. Ingin sekali ia menghabisi Donghae malam ini juga. "Sandinya 781330, Paman langsung ke kamar ku saja. Papa tidak ada dirumah."

Siwon yang sudah berada didepan pintu rumah Jeno buru-buru memasukkan sandi yang diucapkan Jeno. Dia tergesa-gesa menuju kamar Jeno. Hanya mereka yang ada dirumah. Donghae dan Tiffany tidak ada. Namun dirinya yakin ada yang tidak beres saat melihat ruang tamu tadi berantakan. "Jaemin." Siwon bersimpuh didekat kasur. Kondisi anaknya sama sekali tidak bisa dibilang baik-baik saja.

"Jaemin... Papa disini sayang..."

Orang-orang suruhan Siwon segera membantu untuk segera membawa Jaemin ke mobil. Jeno juga mengambil jaket Jaemin lalu menyodorkannya pada Jeno. "Ayo, kamu juga harus ikut."

Jeno menggeleng pelan, "Dia bisa makin marah kalau aku tidak dirumah. Paman bawa saja Jaemin."

"Kamu juga terluka, Jeno."

"Aku akan mengobatinya sendiri, tak apa, bawa Jaemin saja. Papa memukulnya lama sekali tadi."

***

Renjun bersandar pada sofa, menatap jam yang bergerak di dinding. Dia sengaja tidak tidur untuk menunggu ayahnya pulang, untuk menanyai sesuatu. Menanyai tentang apa yang ia lihat akhir-akhir ini. Wanita itu, wanita yang bersama ayahnya, mirip sekali dengan wanita yang ada disekitarnya. Dia tinggi, rambutnya juga panjang, caranya berjalan juga sangat khas. Dia meyakini satu wanita yang sangat mirip dengan apa yang dilihatnya. "Tidak ah... Masa iya dia."

Pintu rumahnya terbuka, menampilkan ayahnya yang pulang dengan kemejanya yang kusut dan menyengat. Renjun mengerutkan dahinya, mencium aroma yang bercampur antara alkohol dan parfum. "Ayah darimana?"

"Ayah? Bekerja lah, memangnya kemana lagi."

"Ayah tidak bersama wanita lain kan?"

Henry menoleh pada Renjun lalu tersenyum. Aneh, Henry adalah orang yang jarang sekali tersenyum padanya saat berdua seperti ini. "Jangan-jangan kamu tau ya?" Dia duduk di sofa yang tak jauh dengan Renjun, mendekat untuk membisikkan sesuatu. "Wanita itu menggoda Ayah."

"Ayah bohong."

Henry menggeleng, sepertinya masih dipengaruhi alkohol. Henry bersandar, seolah memperagakan apa yang terjadi. Tangannya menyentuh bibirnya sendiri lalu menatap Renjun. Renjun paham, dia diam seribu bahasa melihat Henry. "Dia yang mendekati Ayah, duduk di pangkuan Ayah, lalu membuka-"

"Berhenti." Renjun menatap Henry jijik, dia berdiri lalu berlalu begitu saja masuk ke kamar. Henry masih duduk, bersandar pada sofa sambil menatap ke arah pintu kamar Renjun. "Bohong. Aku yang menggodanya dan dia tergoda. Aku hanya ingin dia kembali saja. Tapi sepertinya wanita itu juga menikmati."

{}

Woilah ini agak amburadul ya ges ya

Power of AttorneyWhere stories live. Discover now