Page 30

103 16 5
                                    

Jaemin kesal bukan main. Lagi-lagi dia harus dirawat usai dokter bilang kalau rusuknya patah. Dia ingat bagaimana kerasnya Donghae saat menjadikan dadanya sebagai sasarannya kali ini. Bak samsak, Jaemin bisa merasakan Donghae memukulnya beberapa kali. Apalagi tubuhnya yang diikat di kursi membuatnya tidak bisa bergerak.

"Kau ini apa-apaan. Aku baru meninggalkanmu sebentar saja?"

Jeno menatap keadaan ruang Jaemin yang berantakan. Dia yakin Jaemin melemparkan barang-barang yang ada diatas meja disebelah ranjangnya.
"Kau kesal karena rusukmu patah hah? Aku sudah pernah bilang lawan saja jangan pasrah."

"Lawan kepalamu. Aku diikat begitu bagaimana aku mau melawan? Kau mau aku melawan secara telekinesis apa?"

Jaemin menyandarkan tubuhnya setelah merasa dadanya kembali sakit. Di jalan tadi Jeno panik setengah mati kala Jaemin batuk darah. Dia masih ingat saat jaketnya terkena darah Jaemin yang membuatnya semakin mempercepat laju motornya.
"Sudah sakit banyak tingkah pula."

Jeno mengomel sambil memunguti barang-barang di lantai. Sesekali dia melihat Jaemin yang melamun. Agak menyedihkan saat melihat wajah Jaemin dengan mengenakan pakaian rumah sakit, biasanya laki-laki itu menatapnya angkuh sambil mengejeknya.
Sekarang mereka malah di satu ruangan yang sama dengan Jeno yang membantu Jaemin. Padahal belum lama sejak kejadian Jaemin melakukan perundungan padanya.
"Kau ingin sesuatu."

"Aku mau membunuhmu."

"Hah?"

"Bercanda."
Jaemin meringis kala merasa dadanya lebih sakit daripada sebelumnya. Dia memutuskan untuk berbaring, menahan sakit yang dirasakannya sekarang. "Aku tidak memberi tau ibumu. Mau ditaruh dimana muka ku kalau dia bertanya kenapa anaknya disini."

"Salah siapa tidak menolong,"

"Heh bodoh! Ayahmu sendiri yang mengunci ku di kamar. Bagaimana aku bisa menolongmu kalau begitu."

"Ayahmu juga yang membuatku seperti ini, sialan."
Jaemin menatap sinis Jeno. Tangannya masih mengusap-ngusap dadanya yang semakin nyeri. Dia mulai berkeringat karena merasakan nyeri namun masih enggan mengatakannya pada Jeno.
"Maaf."

"Aku kira kamu akan sama persis seperti dia. Dari dulu aku sudah benci ayahmu. kalau saja aku tidak pernah tau kamu dipukuli seperti itu, mungkin aku juga membencimu sekarang."
Jeno menatap Jaemin. Dia perhatikan wajah Jaemin yang kini lebih tenang dari sebelumnya. Wajah yang jarang dia lihat seumur hidupnya.
"Aku cuma punya mama ku sekarang. Aku biasa berlindung dibalik papa, aku harus apa sekarang.. Kau memang melihatku sebagai laki-laki sombong, Jeno. Aku begitu karena takut, tinggal disitu membuatku takut setiap harinya."

"Papa pasti marah kalau lihat aku kayak gini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, Jeno. Hidup disana tidak membuatku bahagia sepertimu, Haechan atau Renjun."

Jeno diam kala melihat Jaemin mulai menangis. Dia masih berdiri ditempatnya, mendengarkan kata demi kata yang Jaemin ucapkan.
"Aku takut, Jeno. Aku takut sendirian seperti ini. Ayah mu bilang padaku, dia akan bercerai dengan bibi Tiffany dan menikah dengan mama. Pakai kesempatan itu untuk membawa bibi Tiffany pergi, mama akan sulit lari lagi setelah itu."

"Jaemin, aku-"

"Aku harus pasang badan, Jeno. Aku tau dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan semuanya. Aku.. aku takut kalau mama harus seperti aku juga."

Jeno mulai panik saat melihat Jaemin merintih. Sambil menangis Jaemin merintih, memegangi dadanya yang kini sakit berkali-kali lipat. "Jaemin. Jaemin tunggu sebentar, aku mohon tunggu sebentar."

Jeno terus menekan bel untuk memanggil dokter sembari menenangkan Jaemin yang semakin berteriak karena sakit. Tangannya meraih tangan Jaemin kala dia mulai memukuli dadanya untuk menghilangkan sakit yang justru malah memperparah. "Brengsek."

Power of AttorneyWhere stories live. Discover now