Page 29

126 22 3
                                    

"Persetan!"

Dia kembali melemparkan barang ke dekat seseorang didepannya. Kondisi rumah sudah berantakan, banyak barang pecah, kaca berserakan dimana-mana. "Persetan dengan semua ucapanmu itu sialan! Kau tidak punya bukti apa-apa."

Dari belakang Renjun tertawa kecil. Tawanya berhasil membuat Henry menoleh cepat. "Kau tertawakan apa sialan!"

Yewon menjerit kala Henry lemparkan vas bunga kecil langsung mengenai dahi Renjun. Anaknya sampai mundur beberapa langkah dan memegangi kepalanya yang berdarah. "Apa? Kau mau jadi pahlawan untuk ibumu hah? Brengsek."

Renjun tersenyum tipis. Ditatapnya Henry dengan kondisi dahinya yang terus mengalirkan darah. "Setakut itu kah Ayah? Bunda hanya menanyakan apa kau keluar bersama wanita lain? Apa kau merasa takut karena rahasiamu terbongkar?"

Renjun berdiri tegap didepan sang ayah, ditatapnya Henry tanpa takut sedikitpun. "Ayolah, mau menyembunyikannya sampai kapan lagi? Ayah kira aku tidak tau?"

"Ayah kira aku tidak tau kalau selama ini ada wanita yang berhubungan dengan mu? Kalian asik bermesraan disudut ruangan tanpa peduli ada yang lihat. Mengakulah, sudah berapa kali ayah menidurinya?"

"Anak sialan!"

"PUKUL! PUKUL AKU AYAH!" Renjun berteriak menantang ayahnya. Hari ini, Renjun tunjukkan sisi dirinya yang tidak tunduk pada Henry. Ditatapnya mata ayahnya tajam, bahkan jika harus sekarat disini dia akan puas karena sudah menyebutkan apa yang dilihatnya selama ini.

"Ayo cerai, Henry." Yewon berucap, dia tatap suaminya dengan mata yang sudah basah dengan air mata.

"Dasar jalang!" Henry tak segan menampar Yewon kencang. Ditariknya rambut Yewon dan diseret masuk ke kamar. "Kau benar-benar wanita jalang! Beraninya kau meminta cerai sialan!"

Renjun pasang badan. Dia berdiri didepan Henry yang hampir memukul Yewon lagi. "Aku bisa melaporkanmu karena kekerasan dalam rumah tangga. Aku yakin ayah akan memohon pada bunda agar tidak berpisah dengannya."

"Kau masih butuh uangnya, kau masih butuh seluruh aset yang Bunda miliki kan?"

Renjun kembali merelakan tubuhnya babak belur lagi. Membiarkan tubuhnya kembali terluka dibandingkan harus melihat Yewon atau Chenle yang ada di posisinya.
Entah pada siapa dia harus meminta tolong sekarang, Renjun hanya berdiri sendiri untuk melindungi bunda dan adiknya dari monster mengerikan didepannya.

***

"Hari ini aku datang bersama anak ku, Jaemin. Dia terlalu sering mengurung diri di kamar akhir-akhir ini. Maklumlah, anakku yang satu ini memang penyendiri."

Tangan Jaemin terkepal, dia enggan menatap Donghae yang sejak tadi berbasa-basi dengan rekan kerjanya sambil menyebut-nyebut Jaemin. Dia bisa rasakan ada tangan yang memegang bahunya, merematnya kuat hingga Jaemin bisa merasakan nyeri di tulangnya.
"Jangan membuatku marah hari ini Jaemin."

Jaemin hanya diam. Dia tidak memberikan respon apapun selain menatap malah Donghae. Dia masih ingat bagaimana Donghae menyuruh asistennya untuk menutupi luka di wajah Donghae dengan make-up, padahal Donghae sendiri yang menyebabkan luka di wajah Jaemin.
Laki-laki itu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan pelan menuju gelas yang disusun bak menara. Jaemin melewatinya pelan dengan tangannya yang menarik kain yang menjadi alas meja itu. Begitu Jaemin melewatinya gelas-gelas tersebut terjatuh, pecah berantakan hingga beberapa tamu berteriak disana.
Jaemin juga memasang wajah kaget, dia ikut terkejut dengan jatuhnya tumpukan gelas itu. Dia sengaja melakukannya bersamaan dengan pelayan yang tengah menuangkan minuman ke beberapa gelas itu.

Benar saja, dalam hitungan detik pelayan itu dimarahi. Jaemin masih memperhatikan keadaan dengan terkejut. Setelah itu dia berpindah menatap Donghae yang menatapinya. Dengan mudah Jaemin memberikan senyuman kecil untuk pria itu, memberikan isyarat tentang apa yang sedang terjadi.

"Choi Jaemin sialan, kau benar-benar akan habis ditanganku."

***

Jeno tidak berhenti mengigiti kuku jarinya. Pasalnya kamarnya kembali dikunci dari luar yang menjadi pertanda buruk untuknya. Dia sama sekali tidak bisa mendengar keadaan diluar. Kamarnya di desain kedap suara karena Donghae tau Jeno harus fokus belajar makanya dia tidak bisa dengar keadaan diluar. Jeno yakin Jaemin kenapa-kenapa. Dia terus mondar-mandir dikamarnya sambil berusaha menghubungi Jaemin yang tidak kunjung tersambung. Tidak ada jalan lagi untuk Jeno keluar dari sana.
Jeno menoleh kala mendengar ketukan di pintunya lalu ada sesuatu yang muncul dari bawah pintu. Seseorang baru saja memberikannya kunci kamar. Dengan tergesa-gesa Jeno mengambilnya dan membuka pintu kamarnya.

Benar saja, begitu keluar dia bisa dengar amukan Donghae dari dalam kamar yang tidak jauh dari kamarnya. Lagi-lagi pintunya terkunci. Beberapa kali ia berteriak sambil menggedor-gedor pintu itu namun Donghae tidak menjawab. "Brengsek!"

Jeno mengambil barang apapun yang ada didekatnya untuk mencoba mendobrak pintu itu. Rumah sialan ini memang di desain untuk mengurung orang sepertinya. Bahkan pintu itu masih kokoh, masih menutup rapat ruangan dimana Jaemin sekarat didalamnya. "Buka dasar pria sialan!"

Begitu pintu terbuka Jeno tidak segan memukul keras Donghae.  Ayahnya sampai mundur beberapa langkah saking kencangnya Jeno memukulnya. "Anak sialan!"

Jeno tidak memberi Donghae ampun. Dia bahkan menendang perut Donghae hingga terjauh. Dia biarkan ayahnya merasakan nyeri dari Jeno sendiri. Jaemin sudah tidak sadarkan diri. Terduduk di kursi dengan wajah yang babak belur. Bahkan kemeja putihnya sudah memerah karena darah dari kepala dan tubuh Jaemin.
"Jeno!"

"Apa? Kau pikir aku takut padamu sekarang? Aku musuh terbesarmu sekarang, Lee Donghae. Aku akan jadi mimpi burukmu mulai sekarang!"

***

"Kau yakin tidak mau ke rumah sakit saja?"

"Tidak."
Jaemin tidak lagi berbicara. Dia memejamkan matanya sambil terus memegangi dada sebelah kirinya yang terasa nyeri. "Ayolah ke rumah sakit saja. Aku takut rusukmu patah."

"Berisik."

"Sekali ini saja. Setelah itu aku tidak akan membawamu ke rumah sakit lagi."

Jaemin menatap Jeno malas. Padahal dia sudah lemas setengah mati sekarang tapi laki-laki disebelahnya ini berisik sekali. Mau tidak mau Jaemin menurut. Bahkan sekedar untuk turun tangga sama Jaemin harus dibantu Jeno. Dia membawa Jaemin ke apartemen pribadinya. Sebenarnya Tiffany yang membelikannya untuk Jeno, berjaga-jaga kalau dia harus menghindari Donghae seperti ini. "Ah.. aku tidak yakin membawamu pakai motor."

"Aku malah kalau harus menunggu taksi. Ya sudah tidak perlu ke rumah sakit."

Jeno diam. Dia memutar otaknya untuk mencari solusi. Setelah mendapatkan ide Jeno segera membuka jaketnya lalu menaiki motornya. Dia juga menyuruh Jaemin untuk naik lalu dengan jaketnya dia menalikan Jaemin agar menempel dengannya. "Apaan sih?"

"Diam. Tidak usah protes. Kalau kamu jatuh ditengah jalan aku tidak mau putar balik."

Jaemin akhirnya diam. Badannya sudah sakit sekali sekarang. Benar kata Jeno, Jaemin bahkan tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang hampir jatuh dari motor jika saja tidak diikat. Beberapa kali Jaemin hampir kehilangan kesadarannya jika saja bukan Jeno yang terus memanggil namanya. "Sebentar lagi, sebentar lagi sampai. Tolong bertahan, Jaemin. Aku tidak tau harus bilang apa lagi sama bibi Yoona kalau begini."

[]

hai, hehe..

Apa kabar kalian semua?

Power of AttorneyOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz