Page 31

109 17 11
                                    

"Kau ini kelaparan atau apa? Bilang mau makan tapi yang dimakan cuma seperempat."

Jaemin hanya menatap Jeno sekilas. Tangannya hanya mengambil roti dengan potongan kecil seperti tidak selera makan. 

"Ini, sudah tidak terlalu panas." Jeno menyodorkan gelas berbahan kertas berisi coklat panas yang dibelinya bersama dengan roti yang Jaemin makan. Dia juga tidak banyak protes. Jaemin ambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Rasanya perutnya jadi hangat sekarang karena minuman itu. "Jangan seperti tadi lagi."

"Kau membuatku takut."Jeno berucap dengan wajahnya yang datar, enggan memperlihatkan bahwa dirinya peduli. Padahal tadi Jeno sempat menangis karena melihat Jaemin seperti sangat kesakitan. 

"Kau tidak pulang?"

"Bocah bodoh. Kalau aku pulang dan kau kenapa-napa, siapa yang mau memanggil dokter? Tidak usah banyak tanya. Makan saja itu."
Jeno menyandarkan punggungnya. Dia ingin tidur lagi, padahal kalau Haechan tidak membangunkannya dia sudah tidur nyenyak sekali.
"Jaemin,"

"Jangan pulang lagi. Jangan bertemu dia lagi. Aku tidak pernah bisa datang untuk menolong. Aku tidak mau kau mati seperti paman Siwon." Jeno berucap sambil memejamkan matanya. Dia biarkan Jaemin menikmati roti dan segelas coklat panas yang dibelinya di toko dekat rumah sakit.
"Kamu bukan gak bisa ngelawan. Kamu takut buat ngelawan dia."

"Kamu takut kamu harus seperti ayahmu, kamu takut setelah kejadian pertama kali hampir mati ditangannya hari itu. Jangan bertingkah bodoh mulai sekarang, lindungi hidupmu. Jangan buat dirimu hampir mati untuk kesekian kalinya lagi."

"Waktu kamu diikat seperti itu, dipukuli sampai mereka membuat luka bakar ditubuhmu, rasanya aku takut setengah mati. Aku takut kalau hari itu kamu benar-benar mati. Setelah tau kamu adikku, adik dari ayah yang sama, aku rasa aku gagal menjagamu. Aku takut untuk melawan, aku takut ulahku membuatmu semakin dilukai."

"Jadi aku mohon, tetap hidup. Aku mohon padamu untuk tetap hidup, jangan mati sia-sia ditangan dia."
Jaemin masih menatap Jeno. Dia dibuat bingung dengan ucapan Jeno malam ini. Rasanya aneh sekali, aneh melihat Jeno bersikap seperti ini padahal mereka musuh bebuyutan.

"Jangan kira aku tidak peduli. Aku saudara mu, bohong kalau aku tidak merasa sakit melihatmu terluka berulang kali ditangan dia. Rasanya aku malah menjadikanmu kambing hitam, aku berhenti dipukul sementara kamu harus menanggung semuanya menggantikan aku."

"Aku mohon, kali ini biarkan aku berbicara sebagai kakakmu bukan Lee Jeno yang kau musuhi."

***

"Sampai kapan kau mau menghancurkan semuanya demi mendapatkan yang kau mau, Donghae? Anak-anak menderita karena mu sementara kamu terlihat acuh? Jangan jadi pria brengsek Donghae."

"Aku? Pria brengsek? Aku melakukan ini juga agar hidupmu bahagia. Kalau bukan karena kamu atau Jeno, aku sudah bercerai denganmu dan menikahi Yoona."

"Kamu masih mencintai nya kan? Setelah kehidupan rumah tangga kita sampai sekarang kamu masih juga mencintainya kan?"

"Dengar, siapa yang tidak jatuh cinta pada Yoona? Kalau bukan karena Siwon, dia sudah jadi milikku sekarang. Dia sudah hidup denganku dirumah ini, Siwon yang merusak semuanya. Salah kah aku kalau aku melakukan ini untuk mengembalikan yang seharusnya jadi milikku?"

"Laki-laki gila. Kau gila, Donghae. Jeno menderita karena mu, Jaemin menderita karena mu, Yoona juga menderita karena mu. Mau siapa lagi yang kamu hancurkan hidupnya Lee Donghae!"

"DENGAR YA!"

Tiffany bergetar kala barang yang Donghae lemparkan nyaris mengenainya. Donghae kini berdiri tegak didepannya, mengukung tubuhnya dengan dinding dibelakangnya. Dia bisa lihat dengan jelas wajah serius Donghae.
"Aku melakukan ini karena sudah seharusnya kehidupan Siwon itu milikku. Tinggal dengan Yoona, semua perusahaannya harusnya jadi milikku sejak dulu. Aku hanya ingin semua yang bukan milik Siwon kembali padaku, semua yang harusnya menjadi milikku kembali padaku. Bahkan jika aku harus menghancurkan satu persatu hal penting dihidup mereka, aku akan melakukannya. Bahkan jika aku harus menghancurkanmu, Tiffany."

Tiffany bisa rasakan air mata mengalir turun ke pipinya kala Donghae mengusap rambutnya. Tangan Donghae kini mengapit dagu Tiffany, membuat wanita itu menatapnya dengan benar. "Kau memang istriku. Tapi sejak awal semua cinta ku sudah habis di Yoona. Kamu hanya datang untuk menggantikannya, ingat? Kalau saja Yoona tidak menikah dengan Siwon dan kau tidak hamil saat itu, aku tidak akan menikahimu sekarang."

"Anakmu, Jeno, kalau bukan karena Yoona dia sudah jadi anak yang tidak jelas. Anak tanpa ayah karena ayahnya dulu tidak mau mengakuinya. Jadi, kamu tidak punya alasan kuat untuk membuatku berhenti. Kamu yang ingin masuk ke kehidupanku waktu itu, bukan aku yang memintamu untuk masuk ke kehidupanku."

"Kamu cuma pelampiasan ku, Tiffany. Dulu posisimu kalah jauh dibandingkan Yoona."

Tiffany rasakan sakit di hatinya. Donghae menyayat hatinya secara perlahan dengan ucapan-ucapannya. Bahkan ciuman yang ia dapatkan sekarang dari Donghae sudah berbeda sebelum dia dengar ini sekarang. Bagaimana dulu Tiffany mencintai Donghae sepenuh hati, namun hari ini rasanya dihancurkan berkeping-keping karena seluruh ucapan Donghae.
"Aku pergi bekerja dulu ya sayang, cepat suruh anakmu pulang. Dia tidak lagi menurut padaku, mungkin kalau kamu yang meminta dia akan pulang."

***

"Astaga anak Bunda.. sakit ya? Maaf ya Bunda tidak bisa menolong apapun kemarin." Renjun menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Yewon. Dia usap pipi sang bunda pelan untuk menenangkannya.
"Aku tidak apa-apa. Ini kecil, tidak sebanding dengan luka di hati Bunda."

"Wajah anak Bunda jadi banyak luka seperti ini. Tubuh mu juga pasti sakit, Chenle membantu mu pulang dari rumah sakit kan?"

"Iya. Haechan juga datang kok. Dia membantuku berjalan, masih agak sedikit sakit soalnya."

"Haechan, terimakasih banyak ya nak? Bibi berhutang padamu."
Haechan hanya tersenyum sembari sedikit membungkuk. Rasanya senang karena Renjun menganggapnya. Dia juga senang karena Yewon berterimakasih, jarang yang berterimakasih padanya kala dia membantu mereka.
"Haechan, kamu pasti lapar kan? Disini lebih lama ya? Bibi masak dulu supaya kamu dan Renjun makan, ya?"

"Ah jadi merepotkan. Aku makan dirumah saja."

"Enggak. Kamu kalau makan dirumah tidak ada teman, disini saja ya? Kali-kali kamu cobain masakan bibi. Oke?"

Haechan mengangguk semangat. Hari ini suasana hatinya bagus, entah karena dia merasa memiliki teman atau hal lainnya. Renjun dan Haechan banyak bercerita di sepanjang perjalanan tadi. Chenle juga jadi dekat dengannya, dia sering memanggil Haechan hanya untuk menanyakan hal-hal acak atau konyol.
"Terimakasih ya."

"Sampai kapan kau mau berterima kasih? Daripada berterima kasih, lebih baik berikan aku pekerjaan rumahmu, aku mau lihat hehe."

[]

Ini, kayaknya masih panjang.
Mau dilanjutin di satu cerita apa dibagi lagi?

Power of AttorneyHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin