Page 13

293 27 2
                                    

"Wah..."
Semua orang terkagum-kagum melihat Yoona yang baru keluar dari dalam mobil. Dengan
leather jacket dan kacamata hitam yang dia kenakan membuatnya terlihat sangat mahal. Celana kulot panjang berwarna hitamnya juga menambah tampilan Yoona sehingga orang lain sepertinya segan untuk mendekatinya. Mungkin mereka takut karena tidak satu level dengan Yoona?

"Wah... Jaemin, ibumu sudah melewati batas. Pantas saja anaknya seperti mu ya"
Jaemin tersenyum singkat sambil menatap ibunya yang berjalan ke arahnya. "Apakah aku telat?"

"Tidak, rapatnya belum mulai kok"

"Kamu gak mau anterin mama kesana?"
Jaemin terkekeh kecil. Mengulurkan tangannya agar Yoona menggenggam nya. "Tentu saja, nyonya"

Semuanya terlihat memandangi mereka. Siapa yang tidak kenal Yoona istri dari pemilik sekolah ini sampai orang-orang berbodong-bondong ingin bisa kenalan dengannya.
"Mama kece sekali hari ini"

"Ayahmu yang menyuruh mama pakai ini, ada-ada saja memang"

***

Yoona tersenyum kearah Tiffany yang sudah mengosongkan bangku untuknya. "Aku kira kamu tidak akan datang"

"Yang benar saja, aku juga muak hanya keliling di sekitaran gedung itu. Bukannya aku harus menghibur diriku sendiri?"
Keduanya tertawa kecil bersama. Mereka kenal dekat, kenal karena masa lalu. Namun tidak seperti suami mereka yang masih menaruh dendam, keduanya malah terlihat seperti adik kakak walaupun memang lebih tua Tiffany. "Aku tidak melihat kak Yewon dan kak Bo Young? Kemana mereka?"

"Aku juga tidak melihatnya sejak tadi. Mungkin mereka duduk di tempat lain karena sudah mulai ramai"

*** 

"Kau lihat tadi? Ibunya Jaemin elegan sekali, pantas anaknya terlihat susah digapai. Ibunya saja seperti itu"

"Kau benar, bukankah sepertinya kita terlalu jauh untuk bisa menggapai keluarga itu? Rasanya aku ingin menikahi Jaemin supaya hidupku berubah"
Jeno muak. Daritadi hanya Jaemin dan Jaemin. Dia pusing mendengar nama anak itu terus disebut disetiap sudut. Tidak sekalian bicara saja didepan wajah Jaemin, panas telinganya mendengar nama itu terus menerus.

Bahkan Jeno sampai tak sengaja menabrak seseorang karena sudah terlalu muak berada disekitar sini. "Hey.. santai dong, kau ini kenapa sih?"

"Menyingkir kau, bajingan"
Jaemin yang awalnya santai jadi ikut kesal, tangannya menahan bahu Jeno sehingga tidak jadi pergi dari sana. "Aku ini bicara baik-baik, kenapa malah marah sendiri? Kenapa kau tak terima namamu tak disebut di pembicaraan orang lain?"

"Enyah lah kau"

"Padahal aku berharap ayah mu yang datang kesini, pasti dia lebih marah sekarang dibandingkan kamu. Wah... Padahal akan seru sekali, melihat orang yang dulu meremehkan ku sekarang berada dibawahku.
Kau kalah, Jeno Lee. Kau kalah dan akan selalu kalah"
Jaemin tersenyum, merapikan seragam Jeno yang sejak tadi diam memandangnya sengit. "Jangan kepancing disini kalau tidak mau reputasi mu jatuh semakin dalam ke dasar bumi"

***

Renjun masih memikirkan yang ia lihat waktu itu, kuku di jarinya sampai berdarah karena ia gigiti. "Aku pulang"

Matanya langsung menatap ke arah ayahnya, keduanya sama-sama diam sebelum Henry melemparkan koran ke wajah Renjun. "Perhatikan tatapan mu itu, sialan"

Senyumnya mengembang tipis begitu Henry melenggang pergi, melewatinya tanpa tau Renjun mengamatinya sedari tadi. Aroma parfum wanita, yang jelas ia kenal karena hanya ada satu orang dengan parfum khas seperti itu. "Dasar bajingan.."

Kini matanya mengarah pada foto keluarga yang dipajang di meja dekat vas bunga, tanpa aba-aba ia melemparkan koran tadi ke foto itu hingga jatuh ke lantai.
Masa bodoh dengan keluarga, ia muak dengan hal-hal berhubungan seperti itu. "Kak.."

Chenle memandangi Renjun agak takut, dia bisa lihat kakaknya yang menatapnya serius. "Kau mau ikut?"

***

Haechan memandangi rumahnya, kosong. Ayahnya pergi ikut rapat, ibunya pergi menghadiri acara pertemuan. "

"Kamu mau makan? Biar bibi buatkan"
Haechan menggeleng pelan, dia tersenyum pada sang asisten lalu memilih ke kamar. Persetan dengan orang-orang yang selalu berbicara jika hidupnya ini sangat menyenangkan, dikelilingi harta dan orang-orang terkenal bukan membuatnya menyenangkan. Dia muak dengan kamera yang membuatnya harus pura-pura tersenyum, berkata baik didepan media saat tengah bersama ayahnya.
"Bibi buatkan cemilan, dimakan ya? Kalau mau lagi bilang saja"

Haechan mengangguk, menatap pintu kamarnya yang kembali tertutup lalu terkekeh. "Bahkan dia lebih memperhatikan ku daripada orang-orang itu"

***

Jeno bersembunyi dibalik lemari buku yang penuh dan tinggi, mengamati seseorang yang baru keluar dari ruangannya. Dia sempat melihat pin yang dimasukkan untuk membuka ruangan itu.
Sepeninggalnya Donghae dari sana, Jeno mengambil langkah lebar dan menekan angka demi angka sampai pintu itu terbuka. Dia perlahan masuk ke ruangan yang selalu tertutup rapat itu.
Matanya menatapi setiap barang yang ada, ruang kerja ayahnya yang selalu tertutup ini akhirnya bisa ia datangi. Kakinya terus melangkah mengamati ruangan itu sampai punggungnya mendorong sebuah rak yang langsung bergeser.

Jeno jatuh terduduk karena kehilangan keseimbangannya, dia mengusap punggungnya yang terasa sedikit sakit sebelum matanya membulat. Dia masuk ke ruangan dibalik lemari yang ditabraknya tadi. Nafasnya tercekat melihat ruangan itu, bahkan Jeno sudah menangis.
Ruangan dimana penuh dengan foto Donghae bersama Yoona. Semua foto yang ada di dinding, ruangan dengan dominan berwarna red wine ini terlihat sangat rapi seakan sangat dirawat oleh sang pemilik.
Jeno berjalan pelan mendekat pada sebuah lemari kaca dimana didalamnya ada gaun berwarna hitam, gaun pengantin lengkap dengan aksesoris lainnya seperti kalung, anting dan sebuah mahkota dengan berlian berwarna merah.

"Ibumu lah yang datang dan menghancurkan hidup ibuku. Ibumu itu... Seorang penggoda, Jeno"

Kata-kata Jaemin bak tape yang terus berputar ulang di kepalanya. Semuanya, semua ini tertuju untuk Yoona. Bahkan Jeno sampai berpegangan pada meja dimana banyak laci yang berisi berbagai macam perhiasan.
Tangannya terus meraba, membantunya untuk segera keluar dari tempat ini sebelum tangannya tak sengaja menekan remot yang ada di meja tersebut.

"Yoona... Kau sudah berjanji tidak akan meninggalkan ku kan?
Aku akan sangat sedih jika kamu pergi...
Aku akan merindukan semua tentang mu, senyum mu, bahkan tubuh mu"

Jeno terduduk mendengar suara yang keluar dari speaker di sudut ruangan ini setelah remot itu tertekan. Dadanya sesak, dia menangis mengkhawatirkan Tiffany.
Lidahnya kelu, nafasnya seakan tertahan begitu mendengar kata-kata terakhir ayahnya sendiri.
"Lee Jeno"

Jantungnya berdetak lebih kencang, suara yang sangat ia kenali memanggil namanya dari ambang pintu masuk ke ruangan ini.
"Tidak baik jadi anak yang terlalu ingin tau, benar?"

{}

Power of AttorneyWhere stories live. Discover now