Bagian 3

2K 366 37
                                    

"Warna yang paling pantas digunakan seorang perempuan muslimah adalah warna hitam dan warna gelap lainnya. Selain karena tidak membentuk bentuk tubuh, warna hitam juga membantu mengalihkan pandangan para laki-laki yang suka mengincar perempuan."

- Khairyah Hafisyah Asady -

💚💚💚

Pulang dari sekolah dan selesai membersihkan diri, aku merebahkan tubuhku di kasur sambil menunggu waktu Maghrib. Namun, belum sempat kunikmati masa indah ini, suara dering notifikasi yang sangat menyebalkan itu mulai mengganggu. Jika kalian bertanya kenapa tidak kumatikan saja modenya, karena di rumah ada peraturan dering gawai harus dihidupkan. Jadi, kalau nyelip entah ke mana, ditelepon akan kedemgaran.

Perlahan, aku mulai membuka kunci gawaiku dan melihat sederet notifikasi dari grup yang sama. Ya, grup bintalis. Tahu ini berhubungan dengan bintalis, aku memakai khimarku dan turun ke bawah. Sesuai dugaanku, Adam sudah duduk dengan nyaman di sofa single. Sudah menjadi kebiasaan bagi kami, jika ada salah seorang yang mengajak diskusi di grup, aku dan Adam akan duduk di sofa ruang tamu.

"Aku meminta izin agar memakai warna hitam," kataku pada Adam.

"Mereka inginnya putih, dan pilihan pada warna putih lebih banyak," balas Adam.

Aku memandang wajahnya sekilas. Lagi-lagi ekspresi datar tanpa emosi. Pertama kali aku melihatnya, aku kira dia itu patung. Patung yang dibuat sedemikian rupa agar menyerupai manusia. Nyatanya, dia bisa bergerak, berbicara, dan melakukan semuanya. Hanya ekspresi saja yang tidak bisa ia bagikan.

"Warna hitam itu warna kebanggaan bagi perempuan muslimah. Bahkan Sayyidina Fatimah menyukai warna hitam di setiap pakaiannya. Warna putih untuk laki-laki, bukan perempuan. Lebih baik hitam daripada putih untuk perempuan, dan sebaliknya untuk laki-laki. Walaupun semua sama saja, tapi bagiku tidak," jelasku.

Adam mengalihkan pandangannya dari layar, lalu menatapku sekilas. "Semua musyawarah yang terjadi hasilnya mengikuti suara terbanyak. Tidak peduli apa alasanmu, tapi aturan tetaplah aturan."

"Aku membenci aturan itu," ujarku pelan. Aku bangkit dari dudukku, niat hati ingin kembali ke kamar. Perasaanku akhir-akhir ini sangat tidak baik. Apalagi jika menyangkut soal seperti ini. Rasanya benar-benar kesal sampai tidak bisa dikontrol. Namun, suara Adam menginterupsiku.

"Diskusinya belum selesai," kata Adam. Matanya memandang tepat ke arah mataku saat aku menoleh. Seketika, kami langsung mengalihkan pandangan.

"Tanpa aku pun, kamu pasti tetap memilih mereka. Untuk apalagi aku mengemukakan pendapat atau berunding di grup itu?" tanyaku. Karena Adam diam saja, aku melanjutkan langkahku. Aku rasa pertanyaanku sudah menancap di hatinya.

"Khair," panggil seseorang. Dari suaranya, aku rasa itu Pak Rafi. Abinya Adam.

Aku segera menoleh dan menghampiri Pak Rafi. "Iya, Pak?"

"Ada masalah apa sama Adam?" tanya Pak Rafi dengan senyuman tipisnya.

"Biasalah, Pak. Masalah bintalis," jawabku singkat.

"Tentang kostum untuk acara beberapa hari mendatang?" tanya Pak Rafi.

Aku mengangguk. "Iya, Pak. Khair inginnya hitam, tapi yang lain lebih memilih putih. Khair tidak bisa apa-apa selain menurut. Lagipula itu adalah sebuah aturan."

Catatan Khairyah [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang