Bagian 26

2.3K 368 35
                                    

"Sesuatu yang ditakdirkan untukmu akan menjadi milikmu. Tidak bisa diambil oleh orang lain selain kematian. Maka berbahagialah atasmu jika mendapatkan sesuatu yang sudah kamu senangi, dan Allah memberikannya."

- Catatan Khairyah -

💚💚💚

Perlahan, walau terasa sulit, aku tetap membuka mataku. Cahaya putih yang lampu ruangan berikan membuatku sedikit seulit menyeimbangkan mata dan cahayanya. Namun, berkat seseorang yang memosisikan wajahnya tepat di atas wajahku, membuatku mudah untuk membuka mata.

"Zauzi?" panggilku mencoba untuk menebak.

"Iya," sahutnya.

Aku tersenyum tipis. Suaranya yang aku rindukan sudah menghapus segala rasa yang mengancam. Aku bersyukur karena Allah telah mengirimkan penolong untukku. Aku bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk kembali membuka mataku. Ada banyak rasa syukur yang ingin aku panjatkan pada-Nya.

"Nak," panggil Papa saat aku diam.

Tak lama, suara Bang Shaka juga ikut menimpali. "Dek."

Aku memandang wajah Papa dan Bang Shaka secara bergantian dengan senyum tipis. "Khair baik-baik aja."

"Baik dari mana? Kamu baru bangun setelah berjam-jam lamanya. Suamimu ini daritadi ber-muroja'ah dan terus berdoa demi keselamatanmu. Jangan bilang kamu baik-baik saja saat luka yang kamu dapatkan pun tidak sedikit, Nak," balas Papa.

Aku hanya diam. Bisa kurasakan saat ini tubuhku sulit untuk digerakkan. Jelas, karena aku juga bisa merasakan perban yang melilit di kedua lengan tangan dan kakiku. Ah, jarum Dirga berhasil melukaiku dengan dalam.

"Kalau sakit bilang sakit, kamu masih berhak untuk bermanja dengan Papa dan Abangmu. Kamu masih berhak untuk mengadukan segalanya. Jika sudah menikah, bukan berarti kamu harus sekuat pohon yang tak goyah saat terkena badai. Di mata kami, kamu tetaplah anak perempuan yang wajib dilindungi. Kamu boleh menangis, kamu boleh mengeluh, kamu boleh melakukan apa saja," ujar Papa sambil mengelus kepalaku.

"Iya, Pa," balasku pelan.

Tak lama, Papa dan Bang Shaka pergi keluar ruangan. Mungkin ingin memanggil Mama dan Kak Balqis. Karena sejak tadi aku tidak mendengar atau melihat keberadaan kedua wanita itu. Jika mengingat masa lalu, Papa sama Bang Shaka memang selalu menyembunyikan masalahku yang berhubungan dengan Dirga. Karena kalau Mama sudah panik, mungkin satu dunia akan gempar.

"Sayang," panggil Adam.

Ia duduk di kursi tepat di sebelah kananku. Tangannya mengelus kepalaku yang sudah tidak memakai khimar karena ruangan ini ditutup. Untuk soal dokter, aku tidak tahu. Namun, kemungkinan besar dokternya perempuan. Karena kalau tidak, bisa dipastikan sampai saat ini khimar masih menempel di kepalaku.

"Iya, Zauzi?" sahutku.

"Maaf karena aku datang terlambat," jawabnya.

Aku tersenyum manis. Walau wajahku pucat, Adam pasti tidak akan mempermasalahkan itu. "Kamu datang saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi, jangan merasa bersalah. Toh, aku akan segera baik-baik saja."

"Sakitnya masih terasa gak?" tanya Adam sambil memandang perban di tanganku.

"Em, lumayan, sih. Tapi masih bisa aku tahan. Soalnya yang dulu lebih sakit," jawabku. Setelah sadar dengan kalimat terakhir, aku mengalihkan pandanganku dari Adam.

Catatan Khairyah [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang