Bagian 10

2K 341 23
                                    

"Hari ini cukup bersenang-senang, hatimu juga perlu istirahat, batinmu harus kamu tenangkan, dan pikiranmu harus kamu jernihkan."

- Muhammad Adam -

💚💚💚

Aku mendaratkan pinggulku di atas sofa sambil menghela napas panjang. Pagi ini, aku sudah bangun di jam tiga. Setelah salat tahajud, aku langsung bergegas menuju lemari besarku. Jujur saja, di dalam lemari ini delapan puluh persen gamis berwarna hitam, dan yang warna putih entah aku letakkan di mana. Aku juga lupa.

Karena mencari gamis putih, aku membongkar seluruh isi lemari dan membuatku lelah sampai sekarang. Astaghfirullah, kalau bukan karena untuk acara ini, aku pasti tidak akan serepot itu. Benar-benar menyebalkan.

"Ini gamis sekali pakai waktu itu, 'kan?" tanya Devina

Aku mengangguk. "Dari Kak Juni. Kemarin udah izin juga, terus kata Kak Juni gak papa. Nanti pakainya kalau lagi sama Kak Juni aja. Lagian ini juga udah Khair bawa salat."

"Memang kenapa kalau gak dipake salat?" tanya salah satu teman arisan Mama yang kebetulan berkunjung ke sini pagi tadi. Sekitar jam tujuh.

"Semua barang yang kita beli dan kita dapatkan akan dihisab, Tan. Jadi, setidaknya baju ini akan bersaksi bahwa dia pernah Khair bawa salat. Pernah Khair gunakan untuk kebaikan, Tan."

Tante Adisti menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti. "Baju di rumah Tante ada banyak, tapi gak sering Tante pakai untuk salat, berarti harus dipakai salat setidaknya sekali gitu, ya?"

Aku mengangguk cepat. "Iya, Tan."

Pandanganku kemudian beralih ke arah Mama yang sedang tersenyum manis. Semanis saat Mama menggodaku. Paham akan sesuatu, aku langsung menoleh ke belakang, karena Mama terus mengarahkan pandangannya ke belakangku.

"Assalamu'alaikum," sapa Adam.

"Wa'alaikumussalam." Pantas saja Mama tersenyum semanis itu, rupanya ada Adam yang sejak tadi berdiri di belakangku.

Begitu aku membalikkan badan, Mama sudah berbincang dengan Tante Adisti. Aku menolehkan kembali pandanganku ke Adam seraya bertanya, "Udah selesai?"

Adam mengangguk. Ia mengulurkan tas ranselnya di depanku. "Apa?" tanyaku tak mengerti.

"Mau numpang baju?" tanya Adam.

Aku menggeleng, kemudian mengangguk cepat. "Bukan baju, tapi cemilan. Bisa?"

Adam mengangguk dan duduk di sebelah Adam. Ia menatapku seolah ia sedang mengatakan bahwa ia menungguku.

"Ikut aja ke dapur," ajakku.

Adam berdiri dan berjalan di depanku. "Kenapa kamu selalu berjalan di depan perempuan?" tanyaku kepo. Karena memang benar bahwa Adam selalu berjalan di depan perempuan. Ia tidak pernah mengatakan perempuan dulu atau ladies first.

Aku bukannya ngemis perhatian, aku hanya ingin tahu. Karena populasi laki-laki di luar sana pasti akan mengatakan hal itu jika ia bersama dengan seorang perempuan. Baik dikenal, atau pun tidak dikenal.

"Karena jika aku berjalan di belakangmu, setan akan memperindah tubuhmu sehingga aku terpesona akanmu. Kata Sayyidina Umar Bin Khattab, lebih baik aku berjalan di depan singa daripada berjalan di belakang perempuan."

Ah, aku baru tahu akan hal itu. Ternyata benar, perempuan adalah fitnah dunia. "Aku tetap tidak boleh pakai baju hitam?" tanyaku.

Adam menghela napas panjang. Perlahan, ia membuka kemeja hitamnya, kemudian menyampirkan kemeja itu di bahuku.

Catatan Khairyah [ END ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora