Bagian 22

1.8K 344 48
                                    

"Semua yang terjadi di dunia, sudah merupakan takdir yang Allah berikan. Rancangan hidup yang kalian jalani adalah jalan yang terbaik. Karena apa pun keputusan Allah, maka akan selalu berdampak baik bagimu."

- Muhammad Adam -

💚💚💚

Aku membuka mataku secara perlahan. Tidak ada cahaya yang masuk sedikitpun, itu artinya aku jauh dari ruangan yang terkena dampak matahari. Setelah melihat kesekeliling, ternyata aku berada di ruangan yang tidak ada jendelanya sama sekali.

Cukup menyeramkan, dan itu berhasil membuat aku takut.

"Sudah bangun, sayang?"

Aku langsung menoleh ke sumber suara. Rupanya, tak jauh dari posisiku sekarang, ada Dirga yang tengah memegang pisau. Aku tidak tahu, pisau itu berkarat atau tidak. Yang aku tahu, dari dulu Dirga selalu mengoleksi pisau, lalu disimpannya sampai pisau itu berkarat.

"Lepaskan aku," kataku.

Ruangan ini tidak begitu gelap, karena aku masih bisa melihat senyum miring di wajahnya. Ia meletakkan pisau itu di atas meja dan berdiri. Lantas kakinya langsung melangkah menuju diriku.

Tidak boleh, Dirga tidak boleh bertindak lebih jauh dari ini. Namun, saat aku ingin menggerakkan kedua tangan dan kakiku, aku tidak bisa. Seakan-akan, aku sedang diikat.

"Hei, jangan bergerak. Talinya itu sangat kencang, sebentar saja kamu bergerak dan kulitmu tergesek pada tali itu, kamu akan terluka."

Dirga duduk di depanku. Wajahnya mendongak karena aku duduk di atas kursi. "Dan aku tidak suka jika milikku dilukai oleh sesuatu yang bukan karenaku, sayang."

"Dirga kamu kelewatan!" seruku dengan sangat kuat.

Aku baru ingat. Ruangan ini, adalah tempat di mana Dirga membunuh sahabat yang aku punya, satu-satunya, dengan begitu keji. Tanpa bisa aku tahan, air mataku jatuh begitu saja. Ingatan soal bekas sayatan di tubuh sahabatku kembali terngiang dan membuatku mual.

"Kamu ingat?" tanya Dirga. Tangannya terulur mendekati wajahku. Perasaanku semakin tidak enak. Terlebih saat Dirga menyentuh khimarku. "Aku tidak suka dengan penampilanmu sekarang."

Dengan begitu cepatnya, Dirga menarik khimarku sampai rambutku ikut ke depan. Ikatan rambutku juga sudah tidak tahu pergi ke mana. Air mataku kembali jatuh.

Ya Allah, jika ini takdir-Mu, aku mohon maafkan aku atas semua kesalahanku. Ya Alah, tolong kirimkan suamiku. Tolong datangkan dia padaku. Selain pada-Mu, aku tidak tahu harus meminta pada siapa. Bukankah Engkau adalah sebaik-baik penolong? Tidak ada satu makhluk di dunia ini yang mampu menolongku kecuali Engkau, Ya Allah. Bahkan, jika suamiku datang menolongku, itu adalah bentuk cinta dari-Mu. Lantas, jika bukan pada-Mu, kepada siapa lagi aku meminta pertolongan? Tolong Ya Allah, kirimkan dia secepatnya.

"KHAIRYAH!"

Aku tersentak dengan kepala yang tertarik ke belakang. Ah, Dirga tengah menarik rambutku. Aku tersenyum hambar, rasa sakit atas tarikannya di rambutku sudah mengalahkan rasa sakit di pergelangan tangan dan kakiku. Aku bisa merasakan darah yang mengalir di kakiku yang tidak terbalut kaus kaki.

"Kamu mau bunuh aku?" tanyaku padanya.

Ia tersenyum manis sambil menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku membunuhmu, kamu kesayanganku."

Catatan Khairyah [ END ]Место, где живут истории. Откройте их для себя