Bagian 34

1.8K 322 42
                                    

Epilog bakal muncul di bagian 40.
Jangan rewel.
Kalau kita gak siap-siap di sini,
Naskah sebelah mau dianggurin berapa tahun T_T

Tau, kok, Adam sama Khair gemoynya kayak aku.
Cuma, santuy, dong.
Kalian bujuk dikit, pasti aku bakal ngarungin permintaan kalian.
Terus dipertimbangin.

Awokwokwokwok!

•••

"Rasa terenak adalah rasa yang pernah ada, dan rasa terburuk adalah rasa yang pernah singgah."

- Catatan Khairyah -

💚💚💚

Setelah menghabiskan satu piring daging rendang, aku melihat Adam yang tampak sibuk karena Mama memperkenalkannya pada teman se-arisan Mama. Aku sendiri sedang santai karena aku tidak suka jika acara makanku dengan daging rendang tidak terhayati. Jadi, Adam berada di sana juga berkat perintahku.

Aku takut, nanti Adam malah ngedusel lenganku kayak kucing tetangga. Dulu, sih.

"Ayang," panggil Adam. Benar 'kan? Dia pasti langsung menunjukkan sifat manjanya.

Beruntung, kami berada dalam jangkauan tak kasat mata. Yang artinya, kami tidak bisa dilihat mereka secara langsung, karena kami berada di bawah tangga. Tempat ini adalah tempat favoritku. Karena dulu aku suka bermain di bawah tangga, Papa menyulap bagian bawah tangga menjadi ruangan kecil yang terasa luas. Karena barang-barang yang ada di sini juga tidak besar dan terkesan sangat mimimalis.

"Bentar, aku cuci tangan dulu. Zauji udah makan?" tanyaku sambil mencuci tangan di ember besar yang tadi aku isi air. Aku sudah punya perasaan kalau aku akan mager ke wastafel atau kamar mandi.

"Belum," jawab Adam seadanya.

Aku mengangguk, lalu mengambil nasi putih yang berada di dalam rantang. Sudah aku bilang, tempat ini adalah tempat favoritku. Sebelum ke sini, aku sudah meminta tolong pada Mama untuk menyiapkan nasi di satu rantang dan daging rendang di tiga rantang.

Kenapa tiga rantang? Karena untuk aku ganyangi.

"Suapin," pinta Adam saat aku meletakkan piring yang berisi nasi dan daging rendang begitu saja di depan tubuhnya.

"Ih, manja banget, kayak anak kecil," candaku.

"Yang penting sama istri," balas Adam.

"Dulu gak gini. Zauji tuh dulu pendiam, terus tegas, bijaksana, keren, idaman banget pokoknya," ujarku.

Adam menatapku sengit. "Terus sekarang gak idaman?"

Aku tersenyum manis dan mengecup pipinya sekilas. "Idaman aja sih, enggak, tapi idaman banget."

Aku dan Adam tertawa bersama. Baru kali ini aku mengeluarkan kalimat gombal-gembel seperti ini pada Adam. Mungkin, yang membuatnya tertawa juga hal itu. Konyol, bisa-bisanya aku seperti ini di depannya. Seolah aku sedang berhadapan dengan Papa.

"Siapa yang ngajarin gombal?" tanya Adam.

"Enggak tahu. Kepikiran aja gitu, soalnya Zauji mukanya kayak pengen digombalin," jawabku.

Catatan Khairyah [ END ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora