Bagian 35

1.9K 318 15
                                    

"Jika istri dianggap madrasah utama bagi sang anak, maka suami adalah penyusun kerangka di setiap babnya."

- Khairyah Hafisyah Asady -

💚💚💚

Seperti kata Adam kemarin, hari ini agenda kami adalah berkumpul di masjid sekolah kami dulu. Tempat di mana para anak Bintalis sering bernongkrong. Mereka terkadang makan di emperan masjid, tidur di dalam masjid beralaskan sajadah atau bahkan beralaskan lantai marmer yang dingin karena terkena AC saat cuaca sedang terik-teriknya, juga saling berdiskusi tentang pelajaran sekolah, serta berbincang soal agama.

Semua dilakukan anak Bintalis di masjid tersebut. Layaknya rumah, mereka adalah pemilik utamanya. Mereka yang membersihkan, mereka yang merapikan, mereka yang merawat, dan mereka yang meramaikan. Masjid ini, milik anak Bintalis dan seluruh siswa-siswi muslim. Baik yang sudah tamat, atau pun yang masih sekolah di sana.

"Kita telat lima menit dari jam yang ditentukan, Zauji," ucapku saat melihat jam yang melingkat di pergelangan tangan kananku.

Harusnya kami sudah sampai sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi tadi kami beli martabak yang Bang Zaka punya. Buat dibawa ke sini. Eh, tokonya rame. Jadi, ya, nunggu.

"Gak papa, mereka gak bakal ngamuk, kok. Toh, ini hari libur. Gak terpaut sama jam apa-apa."

Aku hanya memberengut sebal. Masa baru beberapa bulan turun jabatan dan terbilang alumni, udah nunjukin keterlambatan kayak gini. Gak banget, deh!

"Ayang," panggil Adam seolah bisa membaca pikiranku.

"Hm?" tanyaku

"Gak papa. Jangan gitu ekspresinya, mau dicium?"

"Ih, enggak!"

Adam tersenyum jahil. "Makanya jangan gitu."

Aku hanya mengangguk. Kemudian berjalan beriringan dengan Adam. Karena jarak parkir dengan masjid lumayan jauh, aku menggandeng lengan Adam yang bebas dari apa pun. Kali ini, Adam memakai jubah berwarna hitam dengan garis pita berwarna putih yang memutar di bagian kerah, pergelangan tangan, juga bagian bawah. Sementara aku memakai gamis hitam tentunya, dengan khimar senanda, yang dibagian bawahnya memiliki garis pita warna putih. Mirip seperti milik Adam. Karena ini nempah. Jadi, terlihat jelas kesan pasangannya.

"Assalamu'alaikum, Pak Ketua, Buk Ketua," sapa Hafiz dari arah depan. Senyumnya merekah saat bertemu kami.

"Wa'alaikumussalam," balasku dan Adam secara kompak.

"Widih, udah resmi aja, nih. Yakin gak mau ngadain resepsi?" tanya Hafiz.

"Enggak, ah. Palingan cuma acara makan-makan. Resepsi itu ngeribetin, dan aku sama Adam sepakat untuk gak pakai resepsi. Entar kalau makan-makannya jadi, kalian pasti diundang," jawabku cepat.

"Gak nyangka, deh. Pak ketua yang kalemnya ngalahin putri malu, bisa nikah sama Buk Ketua yang ngalahin singa tidur. Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma, wa jama'a bainakhuma fii khoir."

Setelah membalas doa yang Hafiz kirimkan untukku dan Adam, kami bertiga lanjut jalan ke arah Masjid. Ternyata Hafiz juga baru datang. Alhamdulillah, ada temen. Dari tangga Masjid, aku bisa melihat banyaknya pasang sepatu yang berjajar. Sebelah kanan milik para akhwat, dan sebelah kiri milik ikhwan.

Catatan Khairyah [ END ]Where stories live. Discover now