Part 39

12.1K 676 107
                                    

Warning!
Banyak typo
.
.
.

Rava menatap gundukan tanah yang diatasnya sudah ia taburkan kelopak bunga mawar merah dan mawar putih.

Kejadian beberapa bulan terakhir yang tidak ia duga masuk begitu saja ke dalam hidupnya. Ia tidak menyangka diusianya yang masih remaja ia mengalami banyak hal yang tidak seharusnya dialami anak SMA sepertinya.

Siklus jatuh cinta berawal dari kagum, berubah menjadi ketertarikan hingga akhirnya jatuh cinta. Itu adalah gambaran perasaan Rava ketika mengenal Ayaana dulu. Dulu sekali. Sebelum ia bertemu dengan Renata.

Siklus itu berubah. Ia hanya ingin menjadikan Renata sabagai tameng dari patah hatinya karena Ayaana menikah dengan orang lain. Tidak ada alasan lain untuk jatuh cinta kepada Renata selain karena harga dirinya yang terluka ditinggalkan begitu saja oleh Ayaana.

Memang benar hanya Rava yang menganggap mereka berdua memiliki perasaan yang sama, karena Ayaana seperti menyambut Rava dengan tangan terbuka ketika Rava mulai mendekati Ayaana dalam arti ketertarikan. Siapa sangka, penyambutan yang Ayaana lakukan hanya karena Ayaana menganggap Rava sebagai adiknya, tidak lebih. Ironis bukan. Selain friendzone, kakak-adik zone juga termasuk cinta yang ironis.

Tidak ada yang menyangka juga jika hatinya kini terbuka karena gadis cupu. Sangat bukan tipe Rava sekali yang bad boy bisa berpacaran dengan cewek nerdy. Semenjak hadirnya Renata dihidupnya, banyak perubahan yang Rava rasakan, bahkan Ranipun ikut merasakannya.

Dalam hal sekolah, orang tuanya—Rudi dan Rani, seperti membebaskan Rava melakukan apa saja dimasa remajanya. Bukan karena tidak sayang, mereka berdua pernah merasakan menjadi nakal disaat remaja. Masa transisi dari anak-anak ke dewasa memang sempat membuat Rani khawatir karena sering melihat Rava pulang sore dengan keadaan babak belur.

Namun lagi-lagi, peran orang tua hanya bisa memberikan bimbingan yang sewajarnya. Rani maupun Rudi tidak pernah memaksakan Rava dalam hal apapun. Termasuk halnya jatuh cinta. Sah-sah saja Rava menyukai perempuan yang lebih tua darinya, Rani tidak masalah asalkan jatuh cinta jangan sampai membuat kita menjadi orang lain.

Maka ketika Rava pulang sekolah tanpa ada luka ditubuhnya membuat hati Rani tenang. Anaknya yang sering bolos kini perlahan mulai mengikuti pelajaran disekolahnya. Cita-cita yang dulu belum Rani dapatkan jawaban dari Rava, kini dengan yakin Rava menjawab ingin menjadi seorang dokter yang ingin menyembuhkan banyak orang agar tidak ada lagi orang yang ia sayang meninggalkannya lalu meninggalkan tangis kesedihan dan penyesalan.

Dan realita menyadarkan Rava, dokter bukanlah Tuhan. Dokter hanya perantara untuk menyembuhkan. Kematian ataupun kehidupan hanyalah keputusan Sang Pemberi Nyawa.

Pandangan Rava kini terangkat, menatap gadis didepannya yang seperti menahan tangis. Ia berdiri untuk berpindah duduk disamping kiri gadis itu.

Tangannya mengelus pelan pucuk kepala sang gadis, "Nggak usah ditahan, nangis aja." Lalu saat tangan Rava mulai mendekatkan kepala gadis itu ke dadanya suara tangispun terdengar, memecah sedikit sunyi ditempat pemakaman. "Maaf..." ucap Rava lirih sambil menempelkan pipinya ke kepala sang gadis.

"Aku—" ucap gadis itu tersendat karena isakan. "Aku ingin bertemu Tante Nia, aku ingin bilang, "Tante, Ata udah pulang, Om Hadi udah dipenjara dan Om Rudi sudah mengurus perceraian kalian saat penyelamatan Ata di Bandung", tapi-tapi—"

Si cupu & Si Badboy (TAMAT)Where stories live. Discover now