45

234K 37.9K 3K
                                    

Hari Sabtu menjadi hari yang dinanti-nanti semua siswa. Karena pada hari tersebut, mereka benar-benar lepas dari yang namanya pelajaran serta kegiatan ekstrakurikuler. Buktinya saat ini, Zahair dan Alwin sudah berpencar entah ke mana meninggalkan Skaya dan Sagara sendiri di asrama.

“Mau ngedate ke mana, Ay?” tanya Sagara yang bosan memainkan ponselnya. Saat ini dia sedang setengah berbaring dengan punggung bersandar pada headboard kasurnya.

Skaya yang duduk di kursi meja belajarnya menoleh ke belakang dengan kening berkerut. “Ay?”

Sagara tersenyum sedikit. “Nama lo Skaya, biar lebih manis gue panggil Aya, disingkat Ay. Pengennya panggil Ayang, tapi belum resmi.”

“Aya?” gumam Skaya termenung. Perlahan bibirnya terangkat membentuk senyuman. Sudah lama tidak mendengar seseorang memanggilnya dengan nama itu. Dulu hanya kakeknya yang menyebutnya dengan nama Aya.

“Jadi kapan resminya, Ay?”

Tapi mendengar laki-laki itu terus memanggilnya Ay, Skaya jadi bergidik. “Jangan manggil Ay.”

Sagara terkekeh. Dia juga merasa aneh karena tidak pernah seintim itu memanggil seorang gadis. “Oke. Jadi kapan lo nerima gue?”

Diam-diam Skaya menghela napas. Sagara masih betah menanyainya hal ini. Dia memikirkannya sejenak. “Coba lagi nanti.”

Mendengarnya, Sagara jadi terdiam.

“Btw Big Bos, kira-kira kapan waktu yang tepat ngasih tau Zahair sama Alwin kalo gue cewek?” tanya Skaya meminta pendapat.

“Gak usah.” tolak Sagara langsung. “Lo gak mikir gimana hebohnya mereka nanti tinggal sekamar bareng cewek?”

“Terus kenapa Big Bos gak heboh?” tanya balik Skaya.

“Karena gue emang berharap lo cewek.” jawab Sagara lurus menatap mata Skaya, membuat mata gadis itu ingin sekali untuk berpaling asal jangan menatapnya.

“Ekhm.” Skaya berdeham. “Big Bos gak pernah mikir macem-macem setelah tau gue cewek?”

Biar bagaimana pun mereka sekamar sekarang. Skaya dulu selalu berpikir bahwa semua laki-laki itu mesum dan tidak bisa menahan diri. Tetapi berhadapan dengan Sagara, dia mulai meragukan pemikirannya itu.

Sebagai laki-laki yang ditanyakan pertanyaan jenis itu, tentu saja Sagara tertegun. Namun hanya sebentar karena dia tidak bisa menahan lucu sehingga terkekeh. Dia tidak tahu ini Skaya yang terlalu polos atau naif sehingga menanyakan hal ini kepadanya.

Bangun dari baringnya lalu menuju tempat Skaya duduk, dia berjongkok di hadapan Skaya dan menggenggam satu tangan gadis itu. “Pengen peluk sama cium lo termasuk macem-macem dalam kamus lo? Kalo masuk, iya, gue pernah. Malah sering.”

Pipi Skaya memerah.

“Tapi kalo lebih dari itu, gue nggak. Lebih tepatnya gak berani.” kata Sagara serius. “Lo tau apa yang gue pikirin tentang lo selama ini?”

Skaya menggeleng pelan.

“Lindungi lo, Skaya. Gue pengen banget lindungi lo, buat lo selalu bahagia di sisi gue. Merusak lo, gue gak berani mikirin itu. Meski dengan itu bikin lo jadi milik gue seutuhnya.” Setelah mengatakan itu, dia mengangkat tangan Skaya yang dia genggam dan mengecup punggung tangannya.

Wajah Skaya semakin memanas. “Sagara...”

Laki-laki itu mendongak menatapnya. “Dari kecil Mami selalu ajarin gue biar jadi cowok yang baik, terlebih buat cewek. Kalo gak suka cewek tolak, meski nyakitin hati mereka. Bukan ngasih kesempatan dan harapan tapi pada ujungnya tetap aja ditinggal.” Sagara tersenyum tipis. “Dan buat cewek yang gue suka, gue bakal kejar gak peduli apapun dan bersumpah bakal lindungi dia bahkan dari diri gue sendiri.”

“Lo anak yang baik.” komentar Skaya pelan.

“Kan calon pacar lo. Bangga, gak?”

Skaya mengangguk malu-malu, membuat Sagara tertawa lembut dan mengacak rambutnya gemas. Dia berdiri dan mengulurkan tangan. “Ayo bangun. Ke bioskop untuk first date kita?”

Memikirkannya sejenak, gadis itu akhirnya menerima uluran tangan Sagara. “Tapi entar bisa mampir ke rumah gue dulu? Ada sesuatu yang mau gue buat.”

***

Mata Sagara tak lepas dari sosok Skaya yang baru memasuki mobilnya. Rambut panjangnya tergerai di kedua bahunya. Sagara tahu itu bukan rambut asli gadis itu melainkan wig, namun tetap saja dia benar-benar nampak cantik mengenakannya. Sejak Skaya memakai wig tatkala menjadi ratu, Sagara tidak bisa melupakan bayangan menakjubkan itu. Tetapi sekarang, dia bisa dengan puas menatapnya.

Skaya sudah menebak akan seperti ini tatapan Sagara, tatapan takjub dan mendamba seperti terakhir kali sewaktu pentas seni. Waktu itu dia memang belum mengerti akan arti tatapan itu, tetapi sekarang berbeda.

Karena mereka akan berjalan bersama di tengah keramaian, Skaya pikir akan aneh melihat dua laki-laki berjalan bersama dan memasuki bioskop berdua. Jadi dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan berpenampilan seperti dirinya dulu. Untungnya saat ini orang tua beserta Skara masih berada di Bandung sehingga rumah masih kosong seperti sebelumnya.

“Gue suka liat rambut lo panjang.” ujar Sagara sembari mengulurkan tangan mengelus pipinya.

“Gue juga suka.” balas Skaya sambil tersenyum.

Meski belum cukup puas memandang gadis itu, Sagara memaksa kepalanya untuk menatap ke depan dan melajukan mobil karena jika tidak, mereka akan terlambat memasuki bioskop yang mana merusak first date mereka.

Mobil dengan mulus berhenti di parkiran sebuah mall terkenal. Sambil menggenggam tangan Skaya, Sagara membawanya menuju bioskop dan memesan dua tiket film horor yang lagi booming.

“Lo gak takut nonton beginian, kan?” tuduh Sagara yang segera dibantah gadis itu. “Gue kira lo takut. Siapa tau butuh sandaran.”

Sagara mengatakan itu dengan enteng. Namun setengah jam kemudian...

“Anj— setan babi. Jumpscarenya ngadi-ngadi. Musiknya juga kekencengan.” dumel Sagara pelan sambil menguatkan genggamannya pada tangan Skaya.

Sudut bibir Skaya berkedut. Tadi siapa sih yang sok-sokan menuduhnya takut dengan film horor?

Melihat laki-laki itu masih meracau, Skaya menowel lengan Sagara dengan tangannya yang bebas untuk mengambil atensinya.

“Apa?” Begitulah yang diucapkan laki-laki itu ketika menoleh menatapnya.

Skaya menunjuk pundaknya. “Butuh sandaran?”

Tanpa basa basi Sagara melepaskan tangan Skaya dan beralih memeluk gadis itu meski punggungnya harus membungkuk ekstra karena mungilnya ukuran tubuh Skaya.

“Gimana kalo tiba-tiba ada yang kesambet di sini?” bisik Sagara membuat Skaya mempelototinya.

“Diem. Gue mau fokus nonton.”

Jadi dengan itu Sagara diam sepanjang film diputar dengan kepala bersandar pada pundak Skaya sambil memejamkan mata dengan bibir melengkung dalam kegelapan ruangan tersebut.

Dibanding takut pada film horor, dia sebenarnya lebih takut kehilangan kesempatan untuk memeluk gadisnya.

TBC

June 24, 2021.

Yap, Big Bos gak takut sama film horor tapi mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Skaya & the Big Boss ✓Where stories live. Discover now