79

187K 35.3K 14.8K
                                    

“Warung yang mana sih?! Kenapa jauh banget!” seru salah seorang gadis dari keempat gadis yang berjalan bersama.

Skaya menoleh, menatap gadis bernama Ayu di sampingnya heran. “Yu, mau di mana? Ada banyak warung di depan tuh.”

“Hooh, lagian kan cuma nanya-nanya sama rekam doang. Ngapain nyari warung yang bagus?!” desak Cici yang segera diangguki gadis disebelahnya, Liana namanya.

Ayu memelototi mereka sambil mendesak. “Ikut aja! Gue lumayan kenal pemilik warungnya. Daripada canggung wawancarai orang yang gak dikenal, kan?”

Ketiga gadis itu menghela napas lelah. Jika bukan karena tugas prakarya dan kewirausahaan yang mewajibkan mereka mewawancarai pemilik UKM secara berkelompok, mana mungkin mereka akan berkeliaran tak jelas sambil berjalan kaki seperti ini?

“Skay, udah susun pertanyaannya kan?” tanya Cici dengan raut wajah kusut, jelas kecapekan berjalan.

“Udah. Bawa kamera kan lo?”

“Liana yang bawa. Ish, capek banget.”

Di sisi lain, tiga orang laki-laki datang dari arah samping. Alwin yang tengah mengedarkan pandangan tiba-tiba menyipitkan mata. “Itu Skaya bukan?”

“Mana?” Zahair bergegas menoleh kanan-kiri mencari sosok Skaya.

Sedangkan Sagara yang sejak tadi pasif berbicara dan melihat-lihat kini mulai memperhatikan sekitarnya. Melihat sosok dari arah jauh, tanpa banyak bicara dia melangkah ke sana.

“Skaya! Anjir, jalan-jalan gak ngasih tau,” celetuk Zahair langsung ketika mereka berjarak beberapa meter dari empat gadis itu.

Keempat gadis itu menoleh. Melihat Sagara, mata Skaya sedikit melebar. “Kalian kok di sini?”

“Tugas prakarya, lah. Mengcapek banget ini daritadi banyak kios yang tutup,” jawab Alwin ngegas.

Ayu dan Liana sejak tadi mematung melihat Sagara. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk bertemu laki-laki itu di luar sekolah dengan pakaian bebasnya. Kaos putih dilapisi kemeja biru dongker yang tak terkancing dengan bagian lengan yang dilipat hingga siku, celana jeans hitam, sepatu putih, rambut agak berantakan yang beberapa helainya jatuh menutupi keningnya, serta jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Jika tahu akan bertemu Sagara di sini, mereka akan memilih pakaian dan make up yang lebih baik!

“Kita mau ke warung di sebelah sana. Mau ikut?” tawar Ayu langsung dengan secercah harapan di matanya.

“Ibu prakarya gak sebut peraturan gak boleh satu tempat yang sama kan? Lagian beda kelas juga. Hayuklah.” Zahair bergegas ke depan memimpin jalan.

Memahami bahwa tiga laki-laki itu akan ikut, keempat perempuan itu kembali berjalan.

“Air yang lo beli tadi?” tanya Sagara ke Alwin. Sontak Alwin menunjuk tas yang digendongnya. “Siniin.”

Tanpa bertanya, Alwin menyerahkan sebotol air mineral yang masih tersegel. Dia melihat Sagara dengan tenang membuka tutupnya lalu berjalan lebih cepat untuk menjejalkan botol air tersebut ke tangan Skaya secara diam-diam.

Skaya yang merasa sesuatu di tangannya berbalik ke belakang. Melihat jarak Sagara tepat di belakangnya, dia menunduk melihat air sebelum menerimanya.

“Gila, gue gak nyangka Sagara rajin bikin tugas,” bisik Ayu yang bisa didengar mereka berempat.

“Iyalah! Lo kira dia bisa juara 1 itu dari mana? Kan nilai rapor akumulasi dari nilai tugas, ulangan sama ujian!” sahut Liana greget.

“Ya siapa tau kek novel-novel gitu. Cowoknya bad boy suka bolos gak pernah masuk kelas tapi selalu juara umum. Hebat gak tuh?” bisik Ayu kembali dengan semangat.

Skaya & the Big Boss ✓Where stories live. Discover now