1. Permulaan

11.5K 1.1K 99
                                    

Met pagi!

Pa kabar kalian cmuah? Semoga bae2 aja ya. Ada yang nunggu cerita  ini? Mon maap, kemaren sempet unpublish gegara gak sempet ngapa-ngapain. Nih, eike republish ya.

Oh iya, sekalian ngasih tahu aja, biar jelas kenapa eike rada kelabakan akhir2 ini. So, sekarang ini eike lagi gabung di program Wattpad dan Spotify, jadi, eike ngehost di podcast yang tajuknya Dear Precious Me. Yang eike bawain di situ adalah semacam monolog untuk motivasi supaya siapa pun yang denger bisa tahu kalau dirinya berharga. Gitu.

Jangan lupa dengerin di Spotify ya.

For now, enjoy!

*****
Aryo Seto, wartawan senior sekaligus editor kepala di sebuah stasiun televisi, berdiri di teras sambil bicara di ponsel saat sebuah sedan hitam berhenti di depan pagar. Terdengar suara gedebukan dari belakang Aryo. Diana, putrinya, berlari serampangan dan tanpa sengaja menabrak bahunya, hanya untuk menyambut pria yang turun dari mobil. Dengan manja, gadis itu langsung bergelayutan di lengan sang kekasih, Berto, putra dari pengusaha kaya sekaligus berpengaruh. Aryo langsung berdecak, hanya sempat mengangguk menyahuti salam yang diucapkan Berto untuk menyapanya.

"Enggak usah gelendotan, Di. Bapak ada di sini, lho. Enggak malu keganjenan di depan Bapak?" tegurnya.

Diana, mahasiswi jurnalistik semester empat yang cerdas tapi manja dan sedikit centil, mencibir kepada ayahnya. "Justru aku sengaja genit-genit begini biar dikasih ijin sama Bapak untuk buruan nikah. Ngapain sih pakek nunggu aku lulus segala?" sahutnya sebal. Sang tunangan menepuk jemarinya lembut untuk menenangkan, meski ekspresinya menunjukkan kalau dia punya pertanyaan yang sama.

Sang ayah menggeleng-geleng. "Gitu kok ditanya? Supaya kamu sepadan dengan Berto yang semuda ini sudah memegang gelar S2, dong. Apa kata orang kalau pria secerdas Berto mendapatkan istri yang drop out kuliah?" katanya pedas.

Diana membelalak, sementara Berto terkekeh. Gemas, Diana mencubit lengan Berto tanpa menoleh, membuatnya langsung terdiam. Setelahnya, gadis itu menatap sang ayah dengan sorot mata mencela. "Kok bisa Bapak mengatai aku enggak sepadan dengan Berto? Yang anak Bapak siapa, sih?" omelnya.

"Sudah, enggak usah berdebat hal yang enggak penting begini pagi-pagi." Marini, ibunda Diana menukas. Beliau memang buru-buru keluar dari dalam rumah untuk mencegah perdebatan semakin panjang. Menoleh pada Berto, senyumnya terulas lebar. "Apa kabar Ibu dan Bapak, Bert? Katanya baru sampai dari LA?" tanyanya.

Berto mengangguk. "Iya, Bu. Besok malam mereka berkunjung ke sini ya, ingin mengobrol," jawabnya sopan.

"Oh ... jam berapa?" Marini semringah.

"Sekitar jam tujuh."

Marini mengangguk."Kalau begitu kami tunggu, ya?"

Berto mengangguk sopan. "Kalau begitu, saya dan Diana pamit, Pak, Bu." Dia meletakkan tangannya di bahu Diana dan menghelanya agar masuk ke mobil.

"Sebentar," Aryo mendekat. Tajam dia menatap. "Bapak nabung sampai bisa membelikan motormu cash, lho, Di. Supaya kamu bisa kayak ibumu, mandiri dan enggak merepotkan pasangan. Kenapa malah minta Berto jemput-jemput segala? Kamu enggak mikir, mungkin Berto ada rapat atau repot dengan pekerjaannya?"

Diana langsung mengerang jengkel. "Bapak!"

"Enggak masalah, kok, Pak. Saya senang menjemput Diana." Berto buru-buru menjelaskan.

"Yang bener?" Cibiran Aryo terputus saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia buru-buru mengangkat tangan untuk menghentikan omelan Diana saat melihat siapa yang menelepon. "Lain kali, jangan ngerepotin pacar," katanya sebelum kemudian berbalik dan mulai bicara di telepon.

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now