63. Diana-Pemburu Badai

1.6K 397 46
                                    

Met hari Senin!

Senangnya eike bisa inget apdet di tengah riweuhnya dunia nyata. So, yang kangen Diana-Tyo, merapat.

Buat kalian yang udah nungguin cerita baru, eike bakal dongengin kalian di podcast Aku Yang Berharga di Spotify. Hari ini, ya, jam 5 sore.

Now, enjoy.

BAGIAN ENAM PULUH TIGA: DIANA-PEMBURU BADAI

Kusno terguling dengan wajah babak belur dan luka di sana-sini. Dia berteriak marah, kesakitan, sekaligus frustrasi, karena apa pun yang dilakukannya, ikatan di kaki dan tangannya tidak lepas juga. Darah mengucur dari lubang hidung dan juga mulutnya, sedangkan bagian kepalanya bocor, mengalirkan darah yang menutupi matanya. Membuat pandangannya buram, dan itu semua karena kemarahan Diana yang brutal. Dia menendang, memukulinya dengan sebatang sapu yang sudah patah sambil berteriak-teriak, memakinya dengan berbagai perkataan kasar, menunjukkan sebesar apa kebenciannya.

“Beraninya lo ngomong sama gue setelah nyelakain bokap dan nyokap gue? Beraninya lo kasih lihat muka lo yang enggak lebih bagus dari tai! Mati lo!” Sekali lagi tendangan menghantam perut Kusno, membuatnya hampir muntah dan berpikir kalau hidupnya mungkin akan berakhir sekarang.

“Didi … kamu enggak mau Om mati, Di. Kamu bakalan dipenjara.” Dia memohon. Melontarkan makian dan membalas kata-kata kasar Diana sudah sejak tadi dilakukannya, tapi tidak berguna sama sekali. Gadis itu kesetanan, jelas bertekad untuk mencelakainya.

Diana meludah. “Kata siapa? Sejak delapan tahun lalu, gue ngebayangin lo mati setiap hari, tau? Gue bangun setiap pagi sambil ngarepin bisa ngiris-ngiris daging lo jadi serpihan kecil-kecil, dan kalo sekarang gue punya kesempatan, kenapa enggak gue kerjain?” tanyanya sambil tertawa sadis. “Lo bunuh bokap gue, bikin nyokap gue koma, kenapa gue enggak boleh bunuh lo?”

Kusno berusaha membuka matanya. “Didi … itu bukan….”

“Jangan ngeles, bangsat! Gue tahu dan gue punya bukti. Tinggal nunggu waktu sebelum lo dan bekingan lo diseret semua ke penjara.”

“Didi….”

“Jangan manggil gue dengan nama itu, mulut lo busuk!”

Kusno terdiam, memutar otak setengah mati, berusaha mencari jalan keluar dan kemungkinan selamat dari perempuan yang kesetanan ini. Sialnya, saat dia membawa Diana ke tempat ini, semua karyawan dan pembantu rumah tangga disuruhnya pergi untuk menghindari saksi. Sekarang, jebakannya malah berbalik, senjata makan tuan.

Saat itu Kusno merasa kalau Diana mundur, sedikit menjaga jarak darinya. Lalu dia mendengar bunyi logam bergesekan, menimbulkan perasaan merinding. Susah payah dia membuka mata, tepat saat Diana berbalik dan kembali memegang pisau besar yang tadi sempat ditaruhnya. Kusno tergagap.

“Mau apa?” tanyanya panik.

Diana tersenyum. “Lo tahu apa yang paling gue pengen kerjain kalau punya kesempatan kayak gini?” Dia balik bertanya.

Kusno menggeleng-geleng.

Diana sedikit merengut imut. “Gue sering ngebayangin lo mati di tangan gue, sering juga, gue ngebayangin mutilasi lo kecil-kecil sampe enggak ada siapa pun yang bisa ngenalin lo lagi. Tapi gue pikir, keenakan banget kalo kayak gitu? Dosa lo tuh kebanyakan dan enggak bisa ditebus dengan mati. Jadi, gue akan bikin lo bayar semua yang udah lo kerjain dengan cara paling tepat.”

“Kamu mau apa?!” teriak Kusno sambil menyemburkan darah dari mulutnya.

Diana tersenyum manis. “Lo pernah niat merkosa gue, kan? Gue akan balas lo sambil berbuat baik pada semua perempuan di dunia dengan … ngebiri lo.”

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now