4. Penjelasan

3.3K 870 83
                                    

Met pagi!

******

Diana memandang malu pada Tyo yang masih duduk di bangku taman rumah sakit dengan kepala tertunduk. Pria itu jelas masih berduka, dan sikap ketus Diana tadi pasti telah menambah luka yang ditoreh di hatinya.

"Mas Tyo," panggilnya, ragu.

Tyo mendongak dan bersitatap dengan Diana yang berusaha tersenyum memohon maaf.

"Mas Tyo, maaf. Seharusnya, saya enggak sembarangan menuduh kayak tadi," katanya, terlihat gugup dan serba salah.

Tyo tercenung sejenak, dan menggeleng tersenyum pahit. "Tidak apa. Saya ... tidak bisa menyalahkan Mbak Diana. Saya pun sempat salah sangka pada Pak Aryo," sahutnya.

Diana termangu. "Mas Tyo ... juga sempat salah sangka?" Dia mengulang ragu. "Maksudnya?"

Tyo menunjuk bangku di sisinya. "Mbak mau duduk dulu? Pasti pusing rasanya berdiri setelah apa yang Mbak alami," sarannya.

Diana memandang bangku itu ragu, menimbang sejenak, dan akhirnya memutuskan duduk di situ. Beberapa saat hening, sebelum kemudian dia memulai bicara. "Ada alasan kenapa saya sempat berburuk sangka pada kakak dan kakak ipar Mas Tyo. Tadi, saat ibadah persemayaman Bapak, saya sempat mendengar obrolan bisik-bisik di rumah duka. Sesuatu yang membuat saya berpikir kalau ... kematian Bapak adalah kesalahan orang yang bersamanya. Saya bahkan mendengar hal yang tidak mengenakkan soal alasan kenapa mereka bisa bersama-sama. Itu membuat saya sangat marah. Sekarang, Mas Tyo bilang kalau sempat salah sangka juga. Ada alasan?"

"Alasan yang sama. Saya dan keluarga sedang ada di rumah duka, menunggui jenazah mereka, dan ... tiba-tiba ada yang menggosip. Mereka bilang, Pak Aryo menyebabkan kecelakaan itu karena mengemudikan mobil dengan kadar alkohol tinggi. Saya marah, tapi kemudian teringat kalau jenazah kakak sayalah yang ada di belakang kemudi. Lalu, kondisi mereka saat dievakuasi sudah begitu memprihatinkan, sampai-sampai sulit bagi kita untuk menyentuh tanpa merusaknya, kan? Lalu, bagaimana tes darah dilakukan? Jadi, saya bertanya pada koroner soal itu, mereka bilang tidak dilakukan tes semacam itu karena kita langsung meminta jenazahnya."

Diana termangu. "Begitu?"

"Ya. Karena penasaran, saya menghubungi petugas forensik yang menangani TKP, mereka tidak menemukan apa pun yang mengindikasikan ketiga orang dalam mobil membawa alkohol atau sejenisnya. Kalaupun ada, harusnya ada bekas yang rusak terbakar. Tapi, ada kecurigaan soal botol yang ditemukan di tempat pengemudi. Botol itu jelas ditaruh belakangan karena tidak ada tanda-tanda terbakar bahkan tidak ada jelaga yang menempel. Mereka sedang mencari sidik jari di situ sekarang."

Keheningan menggantung. Meski tengah kalut dan merasa sakit luar bisa, Diana yang mendengar informasi Tyo langsung mereka ulang secara otomatis semua fakta yang dia dapat. Ada yang janggal di sini, kenapa sepertinya....

"Mas Tyo. Uhm ... menurut Mas, mungkin enggak, ada usaha untuk mencemarkan nama baik mereka?" tanyanya coba-coba. Hatinya terasa sakit saat menanyakan itu. Membayangkan reputasi ayahnya tercemar setelah apa yang terjadi ....

Tyo langsung mengangguk. "Saya juga sampai pada kesimpulan itu, Mbak. Tapi, saya bingung dengan alasannya. Kenapa mereka melakukan itu? Apa untungnya?" sahutnya ragu.

Diana mengerjap cepat, mengusir air mata yang merembes dan mencoba mengumpulkan fokus yang masih tercecer karena duka. "Kalau soal itu ... mungkin ... untuk mencegah penyelidikan lebih lanjut penyebab kecelakaan? Bisa saja, kan, kecelakaan itu sendiri adalah sabotase?"

Tyo menerawang. "Ya. Sepertinya begitu. Ada kemungkinan ... besar sekali."

"Sabotase itu sendiri adalah upaya untuk menghentikan mereka, apa pun yang sedang mereka kerjakan? Investigasi berita, mungkin?" Diana meneruskan sambil menyusut air mata yang meluncur tiba-tiba. Dia berpaling untuk menyembunyikan wajahnya, tidak ingin terlihat lemah.

Tyo termangu, dan menoleh, memandangi gadis yang tetap terlihat cantik meski kepalanya diperban dan ada beberapa luka di bagian wajah dan lehernya itu. Ada kekaguman menyeruak. Pantas saja, Pak Aryo Seto selalu bangga setiap kali bicara tentang putri semata wayangnya, karena gadis ini sangat cerdas. Saat sedang begitu terluka dan trauma, malah setengah mati menahan air matanya jatuh-meski gagal-dia masih bisa berpikir jernih. Hebat.

"Malah sangat mungkin," sahutnya. "Kakak saya dan suaminya adalah subkontraktor dari sebuah perusahaan besar. Tapi, mereka menemukan ketidakberesan di balik satu proyek tertentu dan karena mengenal Pak Aryo, mereka menghubunginya. Apa pun temuan mereka, pasti ada pihak yang tidak ingin kalau itu terungkap."

Diana menyusut air mata bandel yang terus saja menggenangi pelupuk matanya. "Kalau begitu, berarti bapak saya, kakak dan kakak ipar Mas Tyo dibunuh?" tanyanya dengan ekspresi mengeras.

Tyo buru-buru menggeleng. "Sebaiknya kita menggunakan kata 'mungkin', karena apa pun yang kita pikirkan saat ini, masih berupa asumsi. Dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk membuktikannya," jawabnya.

Diana merapatkan rahangnya. "Kalau memang ini pembunuhan, saya akan pastikan dalangnya mendapatkan hukuman setimpal," desisnya di antara geligi yang saling beradu.

Tyo mengangguk. "Saya juga akan melakukan hal yang sama. Tapi, Mbak Diana, untuk sekarang Mbak Diana harus memulihkan diri dulu. Kita tidak boleh gegabah, karena ... kita masih meraba dalam gelap untuk saat ini."

Diana mengangguk. Dia kembali menyusut air matanya yang tidak berhenti mengalir dan tertegun saat tiba-tiba tyo menyodorkan sekotak kecil tisu. Ragu dia menoleh dan menerima tisu itu. "Terima kasih," ucapnya. Disekanya pipinya yang basah, dan disusutnya hidung yang kini penuh dengan cairan hangat juga. Dia benci menangis, tapi setelah pembicaraan ini dan kemungkinan ayahnya tewas karena rekayasa, sangat menyakitkan rasanya sehingga dia tak mampu menahan kesedihan.

Di tempatnya, Tyo berpaling dan berusaha melihat ke arah lain karena tidak ingin membuat Diana merasa malu saat menangis. Beberapa saat hening, sampai kemudian, dari belakang mereka terdengar suara berdeham.

"Ehem!"

Diana dan Tyo menoleh ke arah sumber suara. Berto, kekasih Diana, berdiri kaku dengan satu buket bunga dan keranjang buah-buahan di tangannya, menatap keduanya dengan sorot mata dingin, penuh kecurigaan.

"Maaf, apa saya mengganggu obrolan kalian?" tanyanya dengan nada menyindir.

******

"Kenapa enggak bisa dihubungin?" tanya Diana sambil menatap ke arah lain. Ada perasaan marah dan juga kecewa melihat Berto saat itu.

Berto juga melihat ke arah lain. Hatinya masih dikuasai oleh kecurigaan. Diana dan polisi tadi duduk berduaan, dan jelas sekali sikap mereka satu sama lain begitu dekat. "Aku ada meeting, Di. Aku sama sekali enggak bisa ...."

"Empat hari, Ber," potong Diana. "Empat hari yang dibutuhkan setidaknya sejak Bapak kecelakaan, jenazahnya diserahkan, sampai kemudian dimakamkan. Empat hari, dan kamu punya dua hari untuk nemenin aku di rumah duka."

Berto tertunduk. "Aku tahu, enggak ada gunanya minta maaf. Bagaimanapun, aku memang betul-betul tidak bisa....'

"Kamu dan orangtuamu seharusnya menemui Bapak dan Ibu di malam kecelakaan. Mendadak, tanpa ada pembatalan, Ber, kamu dan keluargamu enggak ada kabarnya sama sekali. sekarang kamu bilang enggak bisa? Enggak bisa apa?"

"Di...."

"Bahkan mahasiswi paling judes di kampus yang sama sekali enggak kukenal, menyempatkan diri menemaniku. Di rumah sakit, bahkan sampai pemakaman Bapak selesai. Kamu ... kamu tunanganku, Ber. Apa kamu tahu gimana perasaanku waktu semua orang tanya keberadaan kamu?"

"Di, cukup. Jangan terus menyalahkanku. Apa kamu tahu apa yang harus kulalui untuk bisa menemui kamu sekarang?"

"Apa?"

"Rasa malu! Malu setengah mati! Orangtuaku menanyakan, kenapa aku masih harus menemui putri dari pelaku kejahatan? Apa kamu tahu kalau bapak kamu diberitakan di mana-mana dan diduga menerima suap? Kamu tahu sulitnya aku memberi mereka pengertian?"

Tangan Diana terangkat spontan, dan Berto sampai harus mundur terhuyung saat gadis itu menamparnya sekuat tenaga.

BERSAMBUNG

Yang mau baca lebih cepet, silakan ke Karyakarsa ya.

Maacih banyak udah mampir.

Winny

Tajurhalang Bogor 18 Juni 2022,
publish ulang 23 Oktober 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now